Friday, July 24, 2009

MANFAAT MGSO4 DALAM PENGENDALIAN KEJANG PADA PREEKLAMPSIA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Preeklamsia tergolong kehamilan risiko tinggi. Morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal sering terjadi pada penderita yang keadaannya jelek dan terlambat dirujuk ke rumah sakit. Preeklampsia adalah salah satu penyebab utama kematian maternal di negara berkembang, kurang lebih 15 – 20% dari seluruh angka kematian maternal. Preeklampsia menimbulkan banyak komplikasi baik yang akut dan muncul kemudian, kematian perinatal dan Intrauterine Growth Restriction (IUGR). (5)

Angka kematian maternal di Indonesia adalah 4,5 per juta penduduk, tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Salah satu penyebab kematian tersebut adalah preeklampsia - eklampsia, yang bersama infeksi dan perdarahan, diperkirakan mencakup 75 - 80% dari keseluruhan kematian maternal. Berdasarkan hasil survai yang dilakukan oleh Angsar, insiden preeklampsia-eklampsia berkisar 10-13% dari keseluruhan ibu hamil. Di dua rumah sakit pendidikan di Makassar insiden preeklampsia berat 2,61%, eklampsia 0,84% dan angka kematian akibatnya 22,2°% (4). Angka kejadiannya di beberapa rumah sakit di Indonesia cenderung meningkat yaitu 1-1,5% pada sekitar 1970-1980 meningkat menjadi 4,1-14,3% sekitar 1990-2000. Menurut WHO pada 1987 angka kejadian preeklamsia sekitar 0,51-38,4%.

Di negara Inggris kelainan preeklampsia-eklampsia relatif jarang, tetapi menimbulkan komplikasi kehamilan yang serius dengan insidensi 5/ 1000 wanita hamil menderita preeklampsia berat(2) dan 5/ 10.000 menderita eklampsia (3). Angka kematian yang disebabkan oleh eklampsia mencapai 1,8% dan 35% menderita komplikasi-komplikasi lainnya. (3)

Pada dasarnya penanganan preeklamsia terdiri atas pengobatan medik dan penanganan obstetrik. Tujuan utama penanganan adalah mencegah terjadinya preeklamsia berat dan eklamsia, melahirkan janin hidup, melahirkan janin dengan trauma sekecil-kecilnya. (6)

Sedangkan tujuan pengobatan eklamsia adalah menghentikan berulangnya serangan kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu mengijinkan. Pengobatan dilakukan salah satunya dengan pemberian MgSO4 untuk mencegah atau menghentikan kejang (seizure) yang terjadi pada preeklamsia dan eklamsia. Pada kasus preeklampsia berat dan eklampsia, preparat magnesium sulfat yang diberikan secara parenteral merupakan antikonvulsan yang paling berkhasiat seperti dibuktikan oleh pengalaman pada banyak klinik selama bertahun-tahun. Magnesium sulfat dapat diberikan intramuskuler secara intermiten atau intravena melalui infus. (6)

B. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui tentang definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi dan diagnosis preeklamsia dan eklamsia

2. Mengetahui penggunakan MgSO4 dalam pengendalian kejang pada preeklamsia eklamsia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

  1. PREEKLAMPSIA - EKLAMPSIA
  1. Definisi

Preeklamsia adalah sindroma spesifik dalam kehamilan yang menyebabkan perfusi darah ke organ berkurang karena adanya vasospasmus dan menurunnya aktivitas sel endotel. (1)

Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dan atau koma. Sebelumnya wanita tadi menunjukan gejala-gejala preeklampsia. (Kejang-kejang timbul bukan akibat kelainan neurologis).(7)

2. Etiologi

Sampai saat ini, etiologi pasti dari preeklampsia/eklampsia belum diketahui. Ada beberapa teori mencoba menjelaskan etiologi dari kelainan tersebut di atas, sehingga kelainan ini sering dikenal ”the diseases of theory” . Adapun teori-teori tersebut antara lain:

a. Peran prostasiklin dan Tromboksan.

Pada preeklampsia-eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti dengan trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi anti trombin III sehingga akan terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TxA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel. (8)

b. Peran faktor imunologis

Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan blocing antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin sempurna pada kehamilan berikutnya. (8)

Fierlie F.M. (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya sistem imun pada penderita preeklampsia dan eklampsia :

* Beberapa wanita dengan preeklampsia – eklampsia mempunyai komplek imun dalam serum.

* Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistim komplemen pada preeklampsia-eklampsia diikuti oleh proteinuria. (8)

Stirat (1986) menyimpulkan, meskipun ada beberapa pendapat menyebutkan bahwa sistim imun humoral dan aktivasi komplemen terjadi pada preeklampsia-eklampsia, tetapi tidak ada bukti bahwa system imunologi bisa menyebabkan preeklampsia-eklampsia. (8)

c. Peran faktor genetis / familial (8)

Beberapa bukti yang menunjukan peran faktor genetik pada kejadian preeklampsia-eklampsia antara lain :

    1. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia
    2. Terdapat kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklampsia-eklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita preeklampsia-eklampsia.
    3. Peran Renin-Angiotensin –Aldosteron system (RAAS)

Telah terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan sebab pre eklampsia-eklampsia, akan tetapi tidak ada yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal – hal berikut :

  1. Sebab bertambahnya frekuensi pada primi graviditas, kehamilan ganda, hidramnion dan mola hidatidosa
  2. Sebab bertambahnya frekuensi dengan makin bertambah tuanya kehamilan
  3. Sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin dalam uterus
  4. Sebab jarang terjadinya pre eklampsia pada kehamilan berikutnya
  5. Sebab timbulnya hipertensi, udema, proteinuria, kejang, dan koma.

Teori yang dewasa ini banyak dikemukakan sebagai sebab pre eklampsia adalah iskemia plasenta. Akan tetapi dengan teori ini tidak dapat diterangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit tersebut. Rupanya tidak hanya satu faktor, melainkan banyak faktor yang menyebabkan pre eklampsia dan eklampsia. Diantara faktor – faktor yang ditemukan seringkali sukar ditentukan mana yang sebab dan mana yang akibat.(6)

  1. Faktor Resiko

* Usia

Insiden tinggi pada primigravida muda dan meningkat pada primigravida tua. Pada wanita hamil usia kurang dari 25 tahun insidensi > 3 kali lipat. Pada wanita hamil berusia > 35 tahun dapat terjadi hipertensi laten3

* Paritas

Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua. Primigravida tua resiko lebih tinggi untuk pre eklampsia berat

* Ras / golongan / etnik

Bias ( mungkin ada perbedaan perlakuan / akses terhadap berbagai etnik di berbagai negara )

* Faktor keturunan

Jika ada riwayat pre eklampsia / eklampsia pada ibu, nenek, faktor resiko meningkat sampai + 25 %

* Faktor gen

Diduga adanya suatu sifat resesif yang ditentukan ibu dan janin

* Diet dan gizi

Tidak ada hubungan bermakna antar menu / pola diet tertentu ( WHO ). Penelitian lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi. Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang obese / overweight.

* Iklim / musim

Di daerah tropis insiden lebih tinggi

* Tingkah laku / sosial-ekonomi

Kebiasaan merokok : insiden pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok selama hamil memiliki resiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat yang jauh lebih tinggi. Aktivitas fisik : istirahat baring yang cukup selama hamil mengurangi kemungkinan / insiden hipertensi dalam kehamilan.

* Hiperplasentosis

* Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar, dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik

* Hidropsfetalis : berhubungan, mencapai sekitar 50 % kasus.

* Diabetes mellitus: Angka kejadian yang ada kemungkinan patofisiologinya bukan pre eklampsia murni, melainkan disertai kelainan ginjal / vaskuler primer akibat diabetesnya

* Mola Hidatidosa: diduga degenerasi trofoblast berlebihan berperan menyebabkan pre eklampsia. Pada kasius mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini / pada usia kehamilan muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pre eklampsia.(9)

  1. Patofisiologi

Terdapat tiga lesi patologis mayor yang terutama berhubungan dengan preeklamsia-eklamsia, yaitu :

1. Perdarahan dan nekrosis pada banyak organ, mungkin akibat konstriksi arteriol

2. Endoteliosis kapiler glomerolus

3. Tiadanya desidualis segmen miometrium pada arteri spiralis.

Vasospasme arteriolar yang lamanya relative pendek (1 jam) dapat menyebabkan hipoksia dan nekrosis pada sel parenkim yang peka. Vasospasme yang berlangsung lebih dari (3 jam) dpat menyebabkan infrak pada organ-organ yang vital misalnya : hati, plasenta, otak. Pada hati, nekrosis peri portal dan pendarahan dapat terjadi dengan hematom subkapsuler yang merupakan komplikasi yang langka. Pada otak, daerah fokal perdarahan dan nekrosis dapat terjadi. Pada retina jendela klinik terhadap vaskulatur arteri, vasospasme dapat dilihat pada pemeriksaan oftalmoskopik. Perdarahan retina dianggap sebagai tanda yang sangat tidak menyenangkan, karena ini dapat mengisaratkan fenomena yang serupa pada organ yang lain.

Lesi ginjal yang khas dari preeklamsia-eklamsia adalah “endoteliosis kapiler glomerolus”, kelainan ini di tunjukkan oleh pembengkakan yang nyata pada endothelium kapiler glomerulus, dengan endapan bahan fibrinoid di bawah sel endotel. Pada mikroskopi cahaya, diameter glomerulus meningkat, dengan tonjolan keluar pada berkas glomerulus ke leher tubulus proksimal dan dengan berbagai tingkat pembengkaan sel endotel dan mesangial.

Patologi uteroplasenta pada preeklamsia-eklamsia ditandai dengan tiadanya desidualis segmen miometrium pada arteri spiralis. Dalam keadaan normal, serbuan trofoblas mengakibatkan penggantian lapisan otot dan lapisan elastis pada arteri spiralis oleh jaringan fibrinoid dan fibrosa, menghasilkan saluran berliku-liku yang besar yang berekstensi melalui miometrium. Pada preeklamsia, perubahan ini terbatas pada segmen desidua pembuluh darah dan dapat mengakibatkan reduksi diameter segmen miometrium pada arteri spiralis. Sebesar 60% tingkat infrak plasenta meningkat pada hampir semua kehamilan.

Sirkulasi uterus, koriodesidua dan plasenta:

* Terjadi iskemia uteroplasenter, menyebabkan ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi darah sirkulasi yang berkurang.

* Hipoperfusi uterus menjadi rangsangan produksi renin di uteroplasenta, yang mengakibatkan vasokonstriksi vaskular daerah itu. Renin juga meningkatkan kepekaan vaskular terhadap zat-zat vasokonstriktor lain (angiotensin, aldosteron) sehingga terjadi tonus pembuluh darah yang lebih tinggi.

* Karena gangguan sirkulasi uteroplasenter ini, terjadi penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke janin. Akibatnya bervariasi dari gangguan pertumbuhan janin sampai hipoksia dan kematian janin.

  1. Gambaran Klinis

A. Kenaikan tekanan darah

Kelainan dasar pada preeklamsia adalah vasospasme arteriol sehingga peringatan awal yang paling bisa diandalkan adalah peningkatan tekanan darah. Tekanan diastolik merupakan tanda prognostik yang lebih utama yaitu 90 mmHg atau lebih yang bila diperhatikan lebih teliti mencerminkan perubahan resistensi pembuluh darah perifer.

B. Kenaikan berat badan dan edema

kenaikan berat badan yang abnormal dan edema terjadi secara dini dan mencerminkan pemuaian ini berkaitan dengan peningkatan permeabilitas kapiler yang ditimbulkan oleh vasokonstriksi arteriol. Peningkatan permeabilitas kapiler memungkinkan cairan berdifusi dari ruang intravaskuler sehingga mengakibatkan pemuaian ruang ekstrasel.kenaikan berat badan yang terlalu banyak dan edema, khususnya kalau terbatas pada tungkai bawah, tidak menetapkan diagnosis preeklamsia. Edema yang mencakup muka dan tangan perlu diperhatikan tapi masih bukan diagnosis. Peningkatan berat badan sekitar 1 pon (0,45) perminggu adalah normal namun bila melebihi 2 pon dalam seminggu, atau 6 pon dalam sebulan kemungkinan preeklamsia perlu dicurigai.

C. Proteinuria

Proteinuria pada preeklamsia dapat diterangkan berdasarkan konstriksi arteriol aferen dengan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein. Pada preeklamsia awal, proteinuria mungkin hanya minimal atau tidak di temukan sama sekali. Pada kasus yang paling berat, proteinuria biasanya dapat ditemukan dan dapat mencapai 10 gr/liter.

D. Gangguan penglihatan

Gangguan penglihatan bermacam-macam, dari mulai pandangan sedikit kabur, skotoma hingga kebutaan sebagian atau total dapat menyertai preeklamsia. Gangguan penglihatan ini mungkin disebabkan oleh vasospasme, iskemi dan pendarahan petekie pada korteks oksipital. Pada sebagian wanita keluhan penglihatan terganggau dapat disebabkan oleh spasme arteriol, iskemia dan edema retina, dan pada kasus-kasus yang langka disebabkan ablasio retina.

E. Nyeri kepala

Jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi akan semakin sering pada kasus –kasus yang lebih berat. Nyeri kepala sering pada daerah frontal dan oksipital, dan tidak sembuh dengan pemberian analgesik biasa. Pada wanita hamil yang mengalami serangan eklamsia, nyeri kepala hebat hampir di pastikan mendahului serangan kejang pertama.

F. Nyeri epigastrium

Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas merupakan keluhan yang sering ditemukan pada preeklamsia berat dan dapat menunjukkan serangan kejang yang akan terjadi. Keluhan ini disebaabkan oleh regangan kapsula hepar akibat edema atau pendarahan.

  1. Diagnosis

Diagnosis dini harus diutamakan bila diinginkan morbiditas dan mortalitas rendah bagi ibu dan anaknya. Walaupun terjadi preeklamsia sukar dicegah, namun preeklamsia berat dan preeklamsia biasanya dapat dihindarkan dengan mengenal secara dini penyakit itu dan dengan penanganan secara sempurna.

Diagnosis preeklamsia ditegakkan berdasarkan:

* Peningkatan tekanan yang lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg

* Atau peningkatan tekanan sistolik > 30 mmHg atau diastolik > 15 mmHg

* Atau peningkatan mean arterial pressure > 20 mmHg atau MAP.> 105 mmHg

* Proteinuria signifikan , 300 mg/ 24 jam atau > 1 g/ml

* Diukur 2 kali pemeriksaan dengan jarak waktu 6 jam

* Udema umum atau peningkatan berat badan ideal

Tekanan darah idealnya diukur setelah pasien istirahat 30 menit. Bila tekanan darah mencapai atau > 160/110 mmHg, preeklamsia termasuk kriteria berat jika terdapat gejala lain seperti disebut diatas

Kriteria diagnosis preeklamsia berat

* Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau diastolik > 110 mmHg

* Proteinuria sama dengan 5 atau + 3 pada tes celup strip

* Oliguria, diuresis <>

* Sakit kepala hebat dan gangguan penglihatan

* Nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas abdomen atau ada ikterus

* Udema paru atau sianosis

* Trombositopenia

* Pertumbuhan janin yang terhambat

Preeklamsia dapat berlanjut ke keadaan yang lebih berat yaitu eklamsia. Eklamsia adalah keadaan preeklamsia yang disertai kejang. Adanya satu tanda harus menimbulkan kewaspadaan, dan apabila eklamsia terjadi maka prognosis bagi ibu dan bagi janinnya menjadi lebih buruk.

Gejala klinis preeklamsia dapat bervariasi sebagai akibat patologi kebocoran kapiler dan vasospasme yang mungkin tidak disertai dengan tekanan darah yang terlalu tinggi, misalnya dapat dijumpai ascites, peningkatan enzim hati, koagulasi intravaskuler, sindroma HELLP (hemolisis elevated liver enzyme low platelets) dan pertumbuhan janin terhambat. Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, pada kecurigaan preeklamsia sebaiknya diperiksa juga :

a. Darah rutin dan kimia darah : ureum kreatinin, SGOT/PT,LD , bilirubin.

b. Urine : protein, bilirubin, sedimen

c. Kemungkinan adanya pertumbuhan janin terhambat, konfirmasi USG

d. Nilai kesejahteraan janin (kardiotokografi)

  1. Komplikasi

* Ablatio retinae

* DIC

* Gagal ginjal

* Perdarahan otak

* Gagal jantung

* Edema paru

  1. PENGENDALIAN KEJANG PADA PREEKLAMPSIA

Preeklampsia yang sering dipersulit oleh kejang tonik-klonik generalisata disebut eklampsia. Koma fatal tanpa kejang juga disebut eklampsia ; namun, sebaiknya diagnosis dibatasi pada wanita dengan kejang dan menggolongkan kematian pada kasus non kejang sebagai kasus yang disebabkan oleh preeklampsia berat. Apabila telah timbul eklampsia, resiko baik bagi ibu maupun janinnya meningkat.(1)

Hampir tanpa kecuali, kejang eklampsia didahului oleh preeklampsia. Eklampsia disebut antepartum, intrapartum atau postpartum bergantung pada apakah kejang muncul sebelum, selama atau sesudah persalinan. Eklampsia paling sering terjadi pada trisemester akhir dan menjadi semakin sering mendekati aterm. Pada 254 wanita penderita eklampsia yang dirawat di the University Mississippi Medical Center, sekitar 3% mengalami kejang pertama kali 48 jam setelah melahirkan. Pada wanita dengan awitan kejang yang lebih dari 48 jam postpartum, perlu dipertimbangkan diagnosis lain.(1)

Serangan kejang biasanya dimulai di sekitar mulut dalam bentuk kedutan-kedutan (twitching) wajah. Setelah beberapa detik, seluruh tubuh menjadi kaku dalam suatu kontraksi otot generalisata. Fase ini dapat menetap selama 15 sampai 20 detik. Mendadak rahang mulai membuka dan menutup secara kuat, dan segera diikuti oleh kelopak mata. Otot-otot wajah yang lain dan kemudian semua otot melakukan kontraksi dan relaksasi bergantian secara cepat. Gerakan otot sedemikian kuatnya sehingga wanita yang bersangkutan dapat terlempar dari tempat tidur dan apabila tidak dilindungi lidahnya tergigit oleh gerakan rahang yang hebat. Fase ini saat terjadi kontraksi dan relaksasi otot-otot secara bergantian dapat berlangsung sekitar 1 menit. Secara bertahap gerakan otot menjadi lemah dan jarang, dan akhirnya wanita yang bersangkutan tidak bergerak. Sepanjang serangan, diafragma terfiksasi dan pernafasan tertahan. Selama beberapa detik seolah-olah sekarat akibat henti nafas, tetapi kemudian ia menarik nafas dalam, panjang dan berbunyi lalu kembali bernafas. Ia kemudian mengalami koma ; tidak ingat serangan kejang tersebut atau pada umumnya kejadian sesaat sebelum dan sesudahnya. Seiring dengan waktu, ingatan akan pulih. (1)

Kejang pertama biasanya menjadi pendahulu kejang-kejang berikutnya yang jumlahnya dapat bervariasi dari 1 atau 2 pada kasus ringan sampai bahkan 100 atau lebih pada kasus yang berat yang tidak diobati. Pada kasus yang jarang kejang terjadi berturutan sedemikian cepatnya sehingga pasien tampak mengalami kejang yang berkepanjangan dan hampir kontinu. (1)

Durasi koma setelah kejang bervariasi. Apabila kejangnya jarang, wanita yang bersangkutan biasanya pulih sebagian kesadarannya setelah setiap serangan. Sewaktu sadar dapat timbul keadaan setengah sadar dengan usaha perlawanan. Pada kasus yang sangat berat, koma menetap dari satu kejang ke kejang lainnya dan pasien dapat meninggal sebelum ia sadar. Meski jarang, 1 kali kejang dapat diikuti oleh koma yang berkepanjangan, walaupun umumnya kematian tidak terjadi sampai setelah kejang berulang-ulang. (1)

Laju pernafasan setelah kejang eklampsia biasanya meningkat dan dapat mencapai 50 kali per menit, mungkin sebagai respon terhadap hiperkarbia akibat asidemia laktat serta akibat hipoksia dengan derajat bervariasi. Sianosis dapat dijumpai pada kasus yang parah. Demam 39o C atau lebih adalah tanda yang buruk karena dapat merupakan akibat perdarahan susunan saraf pusat. (1)

Pada eklampsia antepartum, tanda-tanda persalinan dapat dimulai segera setelah kejang dan berkembang cepat, kadang-kadang sebelum petugas yang menolong menyadari bahwa wanita yang tidak sadar ini mengalami his. Apabila kejang terjadi saat persalinan, frekuensi dan intensitas his meningkat, dan durasi persalinan dapat memendek. Karena ibu mengalami hipoksemia dan asidemia laktat akibat kejang, tidak jarang janin mengalami bradikardia setelah serangan kejang. Keadaan ini biasanya pulih dalam 3 sampai 5 menit ; apabila menetap lebih dari 10 menit, kausa lain perlu dipertimbangkan misalnya solusio plasenta atau bayi akan segera lahir. (1)

Edema paru dapat terjadi setelah kejang eklampsia. Paling tidak terdapat 2 mekanisme penyebab:

* Pneumonitis aspirasi dapat terjadi setelah inhalasi isi lambung apabila kejang diserati oleh muntah

* Gagal jantung yang dapat disebabkan oleh kombinasi hipertensi berat dan pemberian cairan intravena yang berlebihan. (1)

Pada sebagian wanita dengan eklampsia, kematian mendadak terjadi bersamaan dengan kejang atau segera sesudahnya akibat perdarahan otak masif. Perdarahan subletal dapat menyebabkan hemiplegi. Perdarahan otak lebih besar kemungkinannya pada wanita yang lebih tua dengan hipertensi kronik. Walaupun jarang, perdarahan tersebut mungkin disebabkan oleh ruptur aneurisma beri (berry aneurysm) atau malformasi arteriovena. (1)

Pada sekitar 10% wanita, sedikit banyak terjadi kebutaan setelah serangan kejang. Kebutaan juga dapat timbul spontan pada preeklampsia. Paling tidak terdapat 2 kasus:

1. Ablasio retina dengan derajat bervariasi

2. Iskemia, infark atau edema lobus oksipitalis

Baik akibat patologi otak atau retina, prognosis untuk pulihnya penglihatan baik dan biasanya tuntas dalam seminggu. Sekitar 5% wanita akan mengalami gangguan kesadaran yang cukup bermakna, termasuk koma menetap, setelah kejang. Hal ini disebabkan oleh edema otak yang luas, sedangkan herniasi unkus trantentorium dapat menyebabkan kematian. (1)

DIAGNOSIS BANDING

Umumnya eklampsia lebih besar kemungkinannya terlalu sering didiagnosis (overdiagnosia) daripada kurang terdiagnosis (underdiagnosis) karena epilepsi, ensefalitis, meningitis, tumor serebri, sistiserkosis dan ruptur aneurisma serebri pada kehamilan tahap lanjut dan masa nifas dapat menyerupai eklampsia. Namun sampai kausa-kausa lain ini disingkirkan semua wanita hamil dengan kejang harus dianggap menderita eklampsia. (1)

PROGNOSIS

Prognosis untuk eklampsia selalu serius, penyakit ini adalah salah satu penyakit paling berbahaya yang dapat mengenai wanita hamil dan janinnya. Untungnya angka kematian ibu akibat eklampsia telah menurun selama 3 dekade terakhir dari 5-10% menjadi kurang dari 3% kasus. Pengalaman-pengalaman ini jelas menggarisbawahi bahwa eklampsia serta preeklampsia berat harus dianggap sebagai ancaman yang nyata terhadap nyawa ibu. 23% kematian ibu hamil yang tercatat di Amerika Serikat selama tahun 1997 disebabkan oleh hipertensi kehamilan yaitu paling sedikit 64 orang. (1)

TERAPI

Pada tahun 1955, Pritchard memulai sesuatu regimen terapi terstandarisasi di Parkland Hospital, dan regimen ini digunakan hingga tahun 1999 untuk menangani lebih dari 400 wanita dengan eklampsia. Hasil pengobatan 245 kasus eklampsia yang dianalisis dengan cermat ini dilaporkan oleh Pritchard (1984). Sebagian besar regimen eklampsia yang digunakan di Amerika Serikat menerapkan filosofi yang sama, prinsip-prinsipnya mencakup:

1. Pengendalian kejang dengan magnesium sulfat intravena dosis bolus. Terapi magnesium sulfat ini dilanjutkan dengan infus kontinu atau dosis bolus intramuskular dan diikuti oleh suntikan intramuskular berkala.

2. Pemberian obat antihipertensi oral atau intravena intermiten untuk menurunkan tekanan darah apabila tekanan diastolik dianggap terlalu tinggi dan berbahaya. Sebagian dokter mengobati pada saat tekanan diastolik mencapai 100 mmHg, sebagian pada 105 mmHg dan sebagian lagi pada 110 mmHg.

3. menghindari diuretik dan pembatasan pemberian cairan intravena, kecuali apabila pengeluaran cairan berlebihan. Zat-zat hiperosmotik dihindari.

4. Pelahiran

Pada kasus preeklampsia yang berat serta pada eklampsia, magnesium yang diberikan secara parenteral adalah obat anti kejang yang efektif tanpa menimbulkan depresi susunan saraf pusat baik pada ibu maupun janinnya. Obat ini dapat diberikan secara intravena melalui infus kontinu atau intramuskuler dengan injeksi intermitten. Jadwal dosis untuk preeklampsia berat sama seperti untuk eklampsia. Karena persalinan dan pelahiran merupakan saat kemungkinan besar terjadinya kejang, wanita dengan preeklampsia-eklampsia biasanya diberi magnesium sulfat selama persalinan dan selama 24 jam postpartum. Magnesium sulfat tidak diberikan untuk mengobati hipertensi. (1)

Berdasarkan sejumlah studi serta pengamatan klinis yang luas, magnesium sulfat kemungkinan besar memiliki efek anti kejang spesifik pada korteks serebri. Biasanya ibu berhenti kejang setelah pemberian awal magnesium sulfat dan dalam 1 sampai 2 jam akan sadar dan pulih orientasinya tentang tempat dan waktu. (1)

Magnesium merupakan unsur penting dalam banyak sistem enzim, khususnya yang terlibat dalam pembentukan energi, cadangan terbesar dalam skelet. Garam magnesium tidak diserap baik dari saluran cerna, hal ini menjelaskan kegunaan magnesium sulfat sebagai laksatif osmotik, bermanfaat bila diperlukan pengosongan usus yang cepat. Sebagai laksatif osmotik, magnesium sulfat merupakan garam-garam anorganik dari ion-ion divalent, senyawa polialkohol dan disakarida ini berkhasiat mencahar berdasarkan lambat absorbsinya oleh usus, sehingga menarik air dari luar usus melalui dinding ke dalam usus oleh proses osmosa.

Pencahar osmotik bekerja dengan cara menahan cairan dalam usus secara osmosis atau dengan mengubah penyebaran air dalam tinja. Magnesium diekskresi sebagian besar melalui ginjal dan karena itu tertahan bila terdapat gagal ginjal walaupun hipermagnesemia (menyebabkan kelemahan otot dan aritmia) jarang terjadi.

Hipomagnesemia. Karena magnesium dibuang dalam jumlah besar melalui cairan usus, kehilangan besar dalam diare, stoma, atau fistula merupakan penyebab paling sering dar hipomagnesemia, defisiensi dapat pula timbul pada alkoholisme atau terapi deuretik dan pernah dilaporkan setelah pengobatan lama dengan aminoglikosid. Hipomagnesemia sering menyebabkan hipokal-semia sekunder dan juga hipokalemia dan hiponatremia.

Hipomagnesemia simtomatik dihubungkan dengan deficit 0.5-1 mmol/kg, mungkin diperlukan sampai 160 mmol Mg 2+ selama 5 hari untukmenutup deficit (memungkinkan pengeluaran melalui urin). Magnesium diberikan dosis awal secara infuse intravena atau injeksi intramuskuler. Kadar magnesium plasma harus diukur untuk menenukan kecepatan dan lama infuse, dan dosis harus diturunkan pada kerusakan ginjal.untuk mencegah berulangnya deficit, magnesium dapat diberikan melalui mulut dengan dosis 24 mmol Mg 2+ tiap hari dalam dosis terbagi, sediaan yang sesuai adalah tablet magnesium gliserofosfat (tidak dipasarkan). Untuk pemeliharaan (misalnya pada nutrisi intravena) dosis parenteral magnesium adalah 10-20 mmol Mg 2+ sehari (lazimnya sekitar 12 mmol Mg 2+ tiap hari).

Magnesium Sulfat menunjukkan peran besar dalam eklamsia untuk mencegah kejang berulang. Cara pengobatan di Inggris beragam antar rumah sakit tetapi selalu diawali pemberian intravena magnesium sulfat 4 gram (kira-kira 16 mmol Mg 2+) dalam 20 menit disusul dengan infuse intavena dengan kecepatan 1 gram (kira-kira 4 mmol Mg 2+) tiap jam. Berulangnya kejang mungkin memerlukan bolus intravena tambahan 2-4 gram (kira-kira 8-16 mmol Mg 2+). Monitoring EKG dilaksanakan, demikian juga pengawasan tekanan darah dan pengawasan tanda klinis overdosis (hilangnya reflek patella, lemah, mual, rasa panas, flushing, mengantuk, pandangan ganda, dan slurred speech, injeksi kalsium glukonat digunakan pada manajemen toksisitas magnesium). Juga perlu untuk memantau detak jantung fetus terus-menerus.

Magnesium sulfat ; garam Inggeris ; mekanisme kerjanya didalam usus berdasarkan penarikan air (osmosis) dari bahan makanan karena tigaperempat dari dosis oral tidak diserap. Resorpsi, antara 15-30% dari dosis diserap oleh usus, yang dapat mengakibatkan kadar magnesium darah terlampau tinggi, khususnya jika fungsi ginjal kurang baik. Oleh karena itu, magnesium sulfat hendaknya jangan digunakan untuk waktu yang lama. Mulai kerjanya setelah 1-3 jam. Boleh digunakan selama kehamilan, akan tetapi masuk ke air susu ibu

Obat ini bekerja sebagai vasodilator serebral dan stabilisator membran, mengurangi iskemia dan kerusakan neuron yang mungkin terjadi. Obat ini juga bisa bekerja sebagai anti konvulsan sentral yang memblok reseptor N-methyl-D-aspartat. Magnesium sulfat mempunyai jangkauan terapi yang luas dan monitoring klinis cukup dengan mengobservasi frekuensi pernapasan, saturasi PO2 (pulse oximetry ) dan reflek perifer. Monitoring ketat kadarnya dalam serum penting khususnya jika ada penurunan ekskresi ginjal, karena kelebihan magnesium sulfat bisa menyebabkan depresi pernafasan berat dan bahkan kegagalan fungsi kardio respirasi untungnya ada antidotum kalsium glukonate yang bekerja cepat.

Penggunaan rutin magnesium sulfat sebagai profilaksi pada semua wanita dengan preeklamsia masih dipertanyakan. Meskipun demikian jika keputusan dibuat untuk menerapi wanita tersebut sebagai profilaksi selama persalinan magnesium sulfat adalah terapi ideal, terlebih lagi pada uji terbaru dengan skala yang lebih besar, magnesium sulfat lebih baik daripada phenitoin dan diazepam untuk terapi prevensi kejang berulang pada wanita eklamsia, semua wanita dengan eklamsia harus mendapat magnesium sulfat selama persalinan dan minimal 24 jam postpartum.

Magnesium sulfat selain dipakai untuk mencegah kejang dapat dipakai untuk mengatasi kejang dan menyebabkan terjadinya vasodilatasi uterus, efek lainnya adalah vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan penurunan tekanan darah sementara dan diikuti oleh kenaikan nadi. Dalam hal ini magnesium sulfat tidak dipakai sebagai anti hipertensi tetapi sebagai vasodilatasi dari uterus. Dosis yang besar dapat mengakibatkan gangguan dari kontraksi uterus.

DOSIS PEMBERIAN MAGNESIUM SULFAT

Infus intravena kontinu

1. Berikan dosis bolus 4 – 6 gram magnesium sulfat yang diencerkan dalam 100 ml cairan IV dan diberikan dalam 15 – 20 menit

2. Mulai infus rumatan dengan dosis 2 gram/ jam dalam 100 ml cairan IV

3. Ukur kadar magnesium sulfat pada 4 – 6 jam setelahnya dan sesuaikan kecepatan infus untuk mempertahankan kadar antara 4 dan 7 mEq/ l (4,8 – 8,4 mg/ dl)

4. Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah bayi lahir

Injeksi Intramuskular Intermiten

1. Berikan 4 gram magnesiun sulfat (MgSO47H2O USP) sebagai larutan 20% secara intravena denagn kecepatan tidak melebihi 1 gram/ menit

2. Lanjutkan segera dengan 10 gram larutan magnesium sulfat 50%, separuhnya (5g) disuntikkan dalam-dalam di kuadran lateral atas bokong dengan jarum ukuran 20 sepanjang 3 inci (penambahan 1 ml lidokain 2% dapat mengurangi nyeri). Apabila kejang menetap setelah 15 menit, berikan magnesium sulfat sampai 2 gram dalam bentuk larutan 20% secara intravena dengan kecepatan tidak melebihi 1 gram/ menit. Apabila wanita yang bersangkutan bertubuh besar, magnesium sulfat dapat diberikan sampai 4 gram secara perlahan-lahan

3. Setiap 4 jam sesudahnya berikan 5 gram larutan magnesium sulfat 50% yang disuntikkan dalam-dalam ke kuadran lateral atas bokong bergantian kiri-kanan, tetapi hanya setelah dipastikan bahwa:

a. refleks patella masih baik

b. tidak terdapat depresi pernafasan

c. pengeluaran urin selama 4 jam sebelumnya melebihi 100 ml

d. tersedia antidotum yakni glukonas calcicus

4. Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah pelahiran

Stop pemberian MgSO4, jika

- frekuensi pernapasan <>

- Refleks patella (-) sampai menghilang pada kadar plasma 8-10 mEq/L

- Urine <>

- Kejang hampir selalu dapat diatasi bila kadar MgSO4 plasma dipertahankan 4-7 mEq/L

- Lethal dose adalah kadar MgSO4 lebih dari 20 mEq/L

FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

Magnesium sulfat USP adalah MgSO47H2O dan bukan MgSO4. Magnesium yang diberikan secara parenteral dikeluarkan hampir seluruhnya melalui ekskresi ginjal dan intoksikasi magnesium dapat dihindari dengan memastikan bahwa pengeluaran urin memadai, refleks patella atau biseps positif dan tidak ada depresi pernafasan. Kejang eklampsia ha,pir selalu dapat dicegah apabila kadar magnesium plasma dipertahankan pada 4 – 7 mEq/ l (4,8 – 8,4 mg/ dl atau 2,0 – 3,5 mmol/ l). (1)

GANGGUAN FUNGSI GINJAL

Karena magnesium hampir seluruhnya dibersihkan melalui ekskresi ginjal, dengan menggunakan dosis yang sudah dijelaskan, konsentrasi magnesium plasma akan berlebihan apabila filtrasi glomerulurus berkurang secara nyata. Dosis standar awal magnesium sulfat dapat dengan aman diberikan tanpa mengetahui fungsi ginjal. Setelah itu, fungsi ginjal dapat diperkirakan dengan mengukur bersihan kreatinin, dan apabila nilainya 1,3 mg/ dl atau lebih maka hanya diberikan dosis magnesium sulfat separuh dari dosis rumatan magnesium sulfat intramuskular yang diuraikan sebelumnya. (1)

Dengan dosis untuk gangguan ginjal ini, kadar magnesium plasma biasanya berada dalam rentang yang diinginkan yaitu 4 -7 mEq/ l. Apabila magnesium sulfat diberikan secara intravena dengan infus kontinu, kadar magnesium serum digunakan untuk menyesuaikan kecepatan infus. Pada kedua metode, apabila terjadi insufisensi ginjal, kadar magnesium plasma harus diperiksa secara berkala. (1)

EFEK KARDIOVASKULAR

Efek akut ion magnesium parenteral pada wanita dengan PEB telah diteliti oleh Cotton (1986) yang memperoleh data dengan menggunakan kateterisasi arteria radialis dan pulmonalis. Setelah pemberian dosis 4 gram secara intravena dalam 15 menit, rerata tekanan darah arteri sedikit menurun, dan hal ini disertai peningkatan indeks kardiak sebesar 13%. Dengan demikian magnesium menurunkan resistensi vaskular sistemik serta tekanan arteri rata-rata (MAP) dan pada saat yang sama meningkatkan curah jantung tanpa tanda-tanda depresi miokard. Temuan-temuan ini terjadi bersamaan dengan flushing (kulit memerah) dan mual transien. Efek kardiovaskular hanya berlangsung selama 15 menit walaupun infus magnesium terus diberikan dengan kecepatan 1,5 gram perjam. (1)

Thurnau (1987) memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan kecil, tetapi sangat bermakna, konsentrasi magnesium cairan serebrospinal setelah terapi magnesium untuk preeklampsia. Besarnya peningkatan ini berbanding lurus dengan konsentrasi serum. Peningkatan ini tidak dapat disebabkan oleh penyakit itu sendiri karena kadar magnsium cairan serebrospinal tidak berubah pada wanita preeklampsia berat yang tidak diobati apabila dibandingkan dengan kontrol normotensif. (1)

Lipton dan Rosenberg (1994) memperkirakan bahwa efek anti kejang disebabkan oleh blokade influks kalsium neuron melalui saluran glutamat. Cotton (1992) memicu aktivitas kejang di regio hipokampus tikus karena hipokampus adalah regio ambang kejang yang rendah dan kepadatan reseptor N-metil-D-aspartat yang tinggi. Reseptor-reseptor ini dikaitkan dengan berbagai model epilepsi. Karena kejang hipokampus dapat dihambat oleh magnesium, diperkirakan bahwa resptor N-metil-D-aspartat berperan dalam kejang eklampsia. Yang penting, hasil-hasil seperti ini mengisyaratkan bahwa magnesium memiliki efek susunan saraf pusat dalam menghambat kejang. (1)

EFEK PADA UTERUS

Ion-ion magnesium dalam konsentrasi yang relatif tinggi akan menekan kontraktilitas miometrium, baik in vivo maupun in vitro. Dengan regimen seperti yang telah dijelaskan dan kadar plasma yang ditimbulkannya, belum pernah dijumpai bukti-bukti depresi miometrium selain penurunan aktivitas transien selama dan segera setelah dosis bolus intravena awal. Leveno (1998) meneliti hasil akhir persalinan dengan pemberian magnesium sulfat dan pemberian fenitoin untuk penanganan preeklampsia, mendapat hasil bahwa magnesium sulfat tidak secara bermakna mengubah stimulasi persalinan oleh oksitosis, interval rawat inap sampai janin keluar, dan rute pelahiran. Hasil serupa juga dilaporkan oleh peneliti lain (Atkinson, 1995 ; Szal, 1999 ; Witlin, 1997). (1)

Mekanisme bagaimana magnesium dpaat menghambat kontraktilitas uterus masih belum dikethaui, tetapi secara umum dianggap bahwa hal ini disebabkan oleh efek megnesium terhdap kalsium intraselular ular (Watt-Morse, 1995). Jalur regulatorik yang mengarah pada kontraksi Ca2+ bebas intrasel ular, yang mengaktifkan rantai pendek miosin kinase (Mizuki, 1993). Konsentrasi magnesium ekstraselular yang tinggi dilaporkan tidak saja menghambat masuknya kalsium ke dalam sel miometrium tetapi juga menyebabkan kadar magnesium intrasel ular meningkat.

Peningkatan kadar magnesium intraselular ini dilaporkan dapat menghambat masuknya kalsium ke dalam sel – mungkin dengan menyekat saluran kalsium (Mizuki, 1993). Mekanisme ihibisi kontraktilitas uterus ini tampaknya bergantung pada dosis karena untuk menghambat kontraksi uterus diperlukan kadar magnesium serum minimal 8 sampai 10 mEq/ l (Watt-Morse, 1995). Hal ini mungkin menjelaskan mengapa secara klinis tidak tampak efek pada uterus apabila magnesium sulfat diberikan untuk terapi atau profilaksi eklampsia. Secara spesifik, megnesium sulfat apabila diberikan secara intravena atau intramuskular untuk preeklampsia atau eklampsia, menghasilkan kadar yang secara konsisten di bawah 8 – 10 mEq/ l sehingga tidak terjadi hambatan kontraktilitas uterus. (1)

EFEK PADA JANIN

Bayi baru lahir ibu yang mendapat pengobatan magnesium sulfat kemungkinan akan mengalami hipermagnesemia dengan gejala gagal napas, refleks yang menurun dan gejala perut kembung (akibat hipermagnesemia menekan fungsi otot polos usus sehingga menyebabkan ileus). Oleh sebab itu pada bayi baru lahir tersebut sejak menit pertama sampai 1 jam setelah lahir harus diamati :

1. Tangis, apakah menangis lemah atau tidak ada tangisan

2. Refleks, apakah lemah atau menurun

3. Pernapasan, apakah perlu dilakukan resusitasi atau perlu bantuan pernapasan dengan alat resusitasi

Magnesium yang diberikan secara parenteral kepada ibu dengan cepat menembus plasenta untuk mencapai keseimbangan di serum janin dalam derajat yang lebih ringan di cairan amnion (Hallak, 1993). Neonatus dapat mengalami depresi hanya apbila terjadi hipermagnesemia yang parah saat lahir. Belum pernah dijumpai gangguan neonatus pada terapi dengan meagnesium sulfat (Cunningham dan Pritchard, 1984). Apakah magnesium sulfat mempengaruhi pola frekuensi denyut jantung janin, terutama variabilitas denyut demi denyut masih diperdebatkan. Dalam sebuah penelitian acak yang membandingkan infus magnesium sulfat dengan infus salin, mendapatkan bahwa magnesium sulfat berkaitan dengan penuruanan sedikit yang secara klinis tidak bermakna dalam variabilitas frekuensi denyut jantung janin.

Sebagian penulis menyatakan adanya kemungkinan efek protektif magnesium sulfat terhadap cerebral palsy pada janin dengan berat lahir sangat rendah. Murphy (1995) mendapatkan bahwa preeklampsia yang bersifat protektif terhadap cerebral palsy, dan bukan magnesium sulfat. Namun Kimberlin (1996) tidak memperoleh manfaat tokolisis dengan magnesium sulfat pada bayi yang lahir dengan berat kurang dari 1000 gram.

PENGAWASAN PEMBERIAN MAGNESIUM SULFAT DAN TERMINASI KEHAMILAN

Disini ditekankan bahwa pemberian obat-obat disertai pengawasan terus menerus. Jumlah dan waktu pemberian obat disesuaikan dengan keadaan penderita pada tiap-tiap jam demi keselamatannya dan sedapat-dapatnya juga demi keselamatan janin dalam kandungan.

Sebelum diberikan obat penenang yang cukup, maka penderita preeklamsia harus dihindarkan dari semua rangsangan yang dapat menimbulkan kejang, seperti keributan, injeksi atau pemeriksaan dalam.

Penderita dirawat dalam kamar isolasi yang tenang, tekanan darah, nadi, pernafasan dicatat tiap 30 menit pada suatu kertas grafik suhu dicatat tiap jam. Bila penderita belum melahirkan, dilakukan pemeriksaan obstetrik untuk mengetahui saat permulaaan atau kemajuaan persalinan. Untuk melancarkan pengeluaran sekret dari jalan pernafasan pada penderita koma, penderita dibaringkan dalam posisi terndelenberg dan selanjutnya dibalikkan kesisi kiri dan kanan tiap jam untuk menghindari dekubitus. Alat penyedot disediakan untuk membersihkan jalan pernafasan, dan oksigen diberikan pada sianosis. Dauer cathether di pasang untuk mengetahui diuresis dan untuk menentukan protein dalam air kencing secara kuantitatif. Balans cairan harus diperhatikan dengan cermat. Pemberian cairan disesuaikan dengan jumlah diuresis dan air yang hilang melalui kulit dan paru-paru pada umumnya dalam 24 jam diberikan 2000 ml. Balans cairan dinilai dan disesuaikan tiap 6 jam.

Kalori yang adekuat diberikan untuk menghindarkan katabolismus jaringan dan asidosis. Pada penderita koma atau kurang sadar pemberian kalori dilakukan dengan infuse dekstran, glukosa 10%, atau larutan asam amino, separti amino fusion. Cairan yang terakhir ini mengandung kalori dan asam amino.

Bila terjadi henti napas berikan antidotum yakni glukonas calcicus 1 g IV pelan pelan disertai oksigenasi dan biasanya langkah ini sudah cukup untuk mengatasi depresi napas tersebut. Bila terjadi henti napas (tidak pernah terjadi pada dosis terapi) lakukan pula intubasi dan ventilasi aktif.

Setelah kejang dapat diatasi dan keadaan umum penderita diperbaiki maka direncanakan untuk mengakhiri kehamilan atau mempercepat persalinan dengan cara aman. Apakah pengakhiran kehamilan dilakukan dengan seksio sesaria atau dengan induksi persalinan pervaginam, hal tersebut tergantung dari berbagai faktor, seperti keadan serviks, komplikasi obstetrik, paritas, adanya ahli anesthesia dan sebagainya.

Persalinan pervaginam merupakan cara yang paling baik bila dapat dilaksanakan secara cepat tanpa banyak kesulitan. Pada eklamsia gravidarum perlu diadakan induksi dengan amniotomi dan infuse pitosin, setelah penderita bebas dari serangan kejang selama 12 jam dan keadan serviks mengijinkan. Tetapi bila serviks masih lancip dan tertutup terutama pada primigravida, kepala janin masih tinggi, atau ada persangkaan disproporsi sefalopelviks, sebaiknya dilakukan seksio sesarea.

EFEKTIVITAS KLINIS TERAPI MAGNESIUM SULFAT

Pada abad ke 17 di Paris, eklampsia dihubungkan dengan 50% dari semua penyebab kematian maternal. Pertama kali digunakan regimen Magnesium Sulfat adalah pada tahun 1929 di rumah sakit Chicago Lying-In, dengan pemberian Magnesium Sulfat secara intramuskular berhasil menurunkan angka kematian dari 36% menjadi 7%. Pasien-pasien dengan eklampsia di Amerika Serikat sejak tahun 1955 hingga 1980, kematian maternal sedikit demi sedikit berhasil diturunkan dengan menggunakan terapi ini. (10)

Lucas (1995) melaporkan hasil penelitiannya pada 2000 wanita dengan hipertensi di Parkland Hospital dalam penggunaan magnesium lebih efektif apabila dibandingkan dengan fenitoin dalam profilaksi kejang. Magnesium sulfat juga dilaporkan efektif sebagai profilaksi kejang eklampsia apabila dibandingkan dengan diazepam dan fenitoin pada 1700 wanita yang dilakukan acak pada 23 pusat kesehatan di 8 negara. (10)

Penelitian yang dilakukan MAGPIE dengan membandingkan magnesium sulfat dan dengan pemberian plasebo, berhasil mencegah terjadinya eklampsia lebih dari 50% dari 10.000 wanita yang ikut serta. Selain itu juga mengurangi angtka kematian maternal lebih dari setengah, tetapi secara statistik hasil tidak signifikan. (10)

Pada tahun 1995, dipublikasikan hasil-hasil dari uji klinis multinasional terapi eklamsia. Studi the Eclampsia Trial Collaborative Group (1995) ini sebagian didanai oleh WHO dikoordinasikan oleh the National Perinatal Epidemiology Unit di Oxford, Inggris. Studi ini menyertakan 1687 wanita dengan eklampsia yang secara acak dibagi untuk mendapat regimen anti kejang yang berlainan. Ukuran hasil akhir yang utama adalah kekambuhan kejang dan kematian ibu. Pada satu penelitian, 453 wanita yang secara acak mendapat magnesium sulfat dibandingkan dengan 452 yang diberi diazepam. Pada penelitian lain, 388 wanita eklamptik secara acak mendapat magnesium sulfat dan dibandingkan dengan 387 wanita yang diberi fenitoin.

Wanita yang mendapat terapi magnesium sulfat mengalami 50% penurunan insiden kejang berulang dibandingkan dengan mereka yang mendapat diazepam. Kematian ibu menurun pada wanita yang mendapat magnesium sulfat, namun walupun secara klinis mengagumkan, namun perbedaan ini secara statistik tidak bermakna. Secara spesifik, terdapat 3,8 % kematian pada 453 wanita yang mendapat magnesium sulfat diabndingkan dengan 5,1 % pada 452 yang mendapat diazepam. Morbiditas maternal dan perinatal tidak berbeda di antara kedua kelompok dan tidak terdapat perbedaan dalam jumlah induksi persalinan atau SC.

Pada perbandingan kedua, wanita yang secara acak mendapat magnesium sulfat dibandingkan dengan yang mendapat fenitoin memperlihatkan penuruanan 67% dalam kejang berulang. Mortalitas ibu di kelompok magnesium lebih rendah daripada di kelompok fenitoin (2,6 versus 5,2%). Penurunan angka kematian ibu sebesar 50% yang mengesankan ini ternyata juga tidak bermakna secara statistik.

Pada perbandingan lain, wanita yang mendapat terapi magnesium sulfat lebih kecil kemungkinannya memerlukan ventilasi buatan, terjangkit pneumonia dan dirawat di ruang perawatan intensif daripada mereka yang mendapat fenitoin. Neonatus dari wanita yang mendapat magnesium sulfat secara bermakna lebih kecil kemungkinannya membutuhkan intubasi saat pelahiran dan dirawat di ruang perawatan intensif dibandingkan neonatus yang lahir dari ibu yang mendapt fenitoin.

Infark cerebral dan perdarahan adalah salah satu sebab utama kematian karena preeklampsia-eklampsia. Sejak ditemukannya magnesium sulfat sebagai vasodilator cerebral, efek entieklampsi bekerja dengan mengurangi iskemia dengan mengurangi vasospasme cerebral. Penelitian lain yang membandingkan magnesium sulfat dengan vasodilator spesifik cerebral nimodipin, memberikan hasil magnesium sulfat masih lebih efektif sebagai terapi profilaksi kejang pada preeklampsia berat. (11)

Pada pemberian nimodipine kejang terjadi pada 2,6% dari total pasien (819) sedang dengan pemberian magnesium sulfat hanya 0,8% pasien (831) terjadi kejang. 12 dari 21 pasien pada pemberian nimodipin mendapatkan kejang pada periode antepartum dan 9 pasien kejang postpartum. Pasien yang mendapatkan profilaksi magnesium sulfat kejang terjadi pada saat antepartum, tidak ada pasien yang mendapatkan kejang berulang post partum. (11)

Pasien dengan pemberian nimodipin dan mendapatkan terapi hydralazine lebih banyak terjadi eklampsia apabila dibandingkan dengan magnesium sulfat yang disertai hydralazine juga (4% vs 1,1%). Pada pasien tanpa diberikan hydralazine, frekuensi terjadinya eklampsia pada pemberian nimodipin saja lebih banyak daripada dengan pemberian magnesium sulfat (1,4 vs 0,5%). (11)

Dari penelitian-penelitian di atas dapat dibuktikan bahwa pemberian magnesium sulfat secara parenteral secara signifikan dapat mencegah eklampsia. Perbedaan yang signifikan didapatkan pada perbandingan kejang postpartum yang dapat dicegah dengan penggunaaan magnesium sulfat. Dengan mengkaji penelitian dengan penggunaan magnesium sulfat dan nimodipin, teori yang menyebutkan adanya vasospasme cerebral dan iskemia adalah sebab predominan eklampsia tidak dapat dibuktikan. Karena dengan penggunaan nimodipin tidak terbukti lebih efektif dibandingkan dengan magnesium sulfat. (11)

Penelitian yang dipublikasikan sebelumnya oleh Belfort (2002), menjelaskan adanya perubahan hemodinamik cerebral pada pasien preeklampsia. Peningkatan tekanan perfusi cerebral adalah penyebab kerusakan utama dibandingkan penurunan aliran darah cerebral. Peningkatan tekanan perfusi cerebral adalah hasil dari barotrauma cerebral dan edema vasogenik. Nimodipin memperlihatkan peningkatan tekanan perfusi cerebral pada pasien dengan preeklampsia, sedangkan magnesium sulfat justru menurunkannya.(12)

Nimodipin kurang efektif dibandingkan dengan magnesium sulfat dalam mencegah kejang, menjelaskan bahwa kejang pada pasien preeklampsia bukan disebabkan karena perdarahan yang banyak dalam kaitannya dengan overperfusi (encephalopathy hipertensi) dan iskemi. Kejang yang lebih banyak terjadi dengan terapi nimodipin akan menjelaskan bahwa dasar dari kerja nimodipin mengurangi perlindungan vasokonstriksi dan memperburuk overperfusi. Efek ini bisa dibuktikan pada periode postpartum dimana tingkat konstriktor yang dihasilkan plasenta akan menurun. (12)

KEUNTUNGAN PEMBERIAN MAGNESIUM SULFAT

o Cara pemberian mudah, sederhana, nyaman bagi pasien

o Relatif mudah diperoleh dan harganya pun relatif murah, sedangkan hasilnya cukup baik

o Pada kadar terapi, kesadaran pasien tidak terpengaruh meskipun Mg dapat melewati sawar (barrier) plasenta, namun hampir tidak pernah mempengaruhi keadaan janin, kecuali terjadi hipermagnesia (>15 mEq/L) pada saat kala II

BAB III

KESIMPULAN

Preeklamsia-eklamsia merupakan penyebab kematian ibu yang penting disamping sepsis dan pendarahan. Penyakit ini diklasifikasikan sebagai hipertensi yang di induksi oleh kehamilan. Keadaan ini ditandai oleh hipertensi, udema dan proteinuria pada preeklamsia, diikuti oleh kejang atau koma pada eklamsia.

Penanganan atau pengobatan preeklamsia dan eklamsia hanya dilakukan secara simtomatis. Tujuan utama penanganan adalah mencegah terjadinya preeklamsia berat dan eklamsia, melahirkan janin hidup, melahirkan janin dengan trauma sekecil-kecilnya.

Pada kasus preeklamsia berat dan eklamsia, obat pilihannya adalah magnesium sulfat. Obat ini harus digunakan untuk mencegah dan menerapi kejang dan karena itu dapat mencegah skuelnya. Obat ini bekerja sebagai vasodilator serebral dan stabilisator membran, mengurangi iskemia dan kerusakan neuron yang mungkin terjadi. Obat ini juga bisa bekerja sebagai anti konvulsan sentral yang memblok reseptor N-methyl-D-aspartat. Magnesium sulfat mempunyai jangkauan terapi yang luas dan monitoring klinis cukup dengan mengobservasi frekuensi pernapasan, saturasi PO2 (pulse oximetry ) dan reflek perifer.

Magnesium sulfat selain dipakai untuk mencegah kejang dapat dipakai untuk mengatasi kejang dan menyebabkan terjadinya vasodilatasi uterus, efek lainnya adalah vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan penurunan tekanan darah sementara dan diikuti oleh kenaikan nadi. Dalam hal ini magnesium sulfat tidak dipakai sebagai anti hipertensi tetapi sebagai vasodilatasi dari uterus. Dosis yang besar dapat mengakibatkan gangguan dari kontraksi uterus.

Monitoring ketat kadarnya dalam serum penting khususnya jika ada penurunan ekskresi ginjal, karena kelebihan magnesium sulfat bisa menyebabkan depresi pernafasan berat dan bahkan kegagalan fungsi kardio respirasi untungnya ada antidotum kalsium glukonate yang bekerja cepat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, F. G., Gant N.F., Leveno K. J., Gilstrap L. C., Hauth J. C., Wenstrom K. D., 2006. Obstetri William Edisi 21. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

2. Tuffnell DJ, Jankowicz D, Lindow SW, Lyons G, Mason GC, Russell IF, Walker JJ. Outcomes of severe pre-eclampsia/ eclampsia in Yorkshire 1999/ 2003. BJOG 2005;112:875–80.

3. Douglas KA, Redman CW. Eclampsia in the United Kingdom. BMJ 1994;309:1395–400.

4. Rambulangi J., 2003. Penanganan Pendahuluan Prarujukan Penderita Preeklampsia Berat dan Eklampsia, Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

5. Sibai B., Dekker G., Kupferminc M., 2005. Lancet 365: 785–99. Department of Obstetrics and Gynecology, University of Cincinnati College of Medicine, USA.

6. Wiknjosastro, H, Saifuddin A. B., Rachimhadhi, T. 2005. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Bagian Kebidanan dan Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

7. Pengurus Besar IDI, Preeklampsia – eklampsia, Standar Pelayanan medis, Departemen kesehatan RI, Jateng.

8. Sudabrata. K, Profil Penderita Preeklamsia – Eklamsia di RSU Tarakan, artikel, bagian Kebidanan dan Kandungan RSU Tarakan, Kaltim, 2001

9. Josoprawiro. M, 1999. Hipertensi pada Kehamilan Preeklampsia – Eklampsia, FKUI, Jakarta.

10. Greene, M. F. 2003. Magnesium Sulfate for Preeclampsia. The New England Journal of Medicine Volume 348:275 – 276, January 23, 2003 Number 4.

11. Belfort, M. A, Anthony, J., Saade, G. R., Allen J.C. 2003. A Comparison of Magnesium Sulfate and Nimodipine for the Prevention of Eclampsia. The New England Journal of Medicine Volume 348 : 304 – 311, January 23, 2003 Number 4.

12. Belfort M. A., varner M. W., Dizon D. S., Grunewald C., Nisell H., 2002. Cerebral perfusion Pressure and not Cerebral Blood Flow, may be the Critical determinant of Intracranial Injury in Preeclampsia. Am J Obstet Gynecol 187 : 626 - 634