Friday, October 2, 2009

ABSES PERITONSILER

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher, harus dicurigai kmungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat.1
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Stertococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacterioides atau kuman campuran. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibula dan angina Ludovici (Ludwig’s Angina).1
Menurut Herzon, abses peritonsil adalah infeksi yang paling sering ditemukan di region peritonsiler. Di Amerika Serikat, insidensinya mencapai 30 kasus per 100.000 penduduk pertahun dan ditemukan hingga 45.000 kasus pertahunnya. Jumlah yang tinggi ini diperkirakan karena adanya infeksi rekuren (berulang) dan resistensi terhadap antibiotic yang dilaporkan secara internasional.2
Angka kematian yang diakibatkan oleh abses peritonsil belum diketahui secara pasti, sedang angka kesakitan yang disebabkan abses ini paling banyak dihubungkan dengan nyeri. Tidak ada predileksi ras tertentu untuk penyakit ini, baik laki-laki dan perempuan mempunyai rasio resiko yang sama untuk menderita abses peritonsiler. Penyakit ini ditemukan pada umur 10 – 60 tahun, namun paling banyak ditemukan pada umur 20 – 40 tahun. Apabila ditemukan pada anak-anak seringnya adalah pada pasien immunocompromised.2
Abses peritonsiler (PTA) banyak ditemukan pada praktek klinik yang merupakan salah satu kegawatdaruratan di bagian otorhinolaryngologic dan mudah untuk terjadi kekambuhan. Jika pasien dengan abses peritonsiler diterapi dengan berbagai metode yang berbeda maka hasilnya juga akan berbeda. Untuk menambah efek terapi untuk abses peritonsiler, tiga metode efektif telah dilaporkan, yaitu metode operasi pada stadium abses, metode operasi selektif dan terapi konservatif. 3Disini akan dibahas mengenai terapi abses peritonsiler lebih lanjut, sehingga kita dapat memilih metode yang paling tepat.

1.2. TUJUAN PENULISAN
Mengetahui pengertian abses peritonsiler, etiologi, anatomi, patologi, gejala klinis, bakteriologi, diagnostic, komplikasi, diagnose banding, terapi dan prognosis abses peritonsiler.
















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI ABSES PERITONSILER
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher akibat dari kolonisasi bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsiler. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah di daerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior dan palatum superior. 2
2.2. ETIOLOGI
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda. 1
Mikrobiologi yang sering ditemukan pada abses paling banyak adalah infeksi campuran. Terdapat bakteri aerob dan anaerob. Apabila diisolasi paling sering ditemukan adalah Streptococcus grup A atau grup B. Staphylococcus aureus, Fusobacterium dan bakteri gram negative anaerob juga sering ditemukan. 5% dari kultur menunjukkan tidak adanya pertumbuhan bakteri, hal ini disebabkan karena kebanyakan pasien mendapatkan terapi antibiotic sebelum dilakukan operasi pada stadium akut.6
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobic.2
2.3. ANATOMI
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n. vagus.1
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fosa supra tonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebut kapsul yang sebenar-benarnya.1
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatine yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang dsebut kriptus. 1
Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel squamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.1
Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina asendens, cabang tonsil a.maksilla eksterna, a.faring asendens dan a.lingual dorsalis. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.1
Abses peritonsiler terbentuk dia area antara tonsil palatine dan kapsulnya. Jika abses berlanjut maka akan menyebar ke daerah sekitarnya meliputi musculus masseter dan muskulus pterygoid. Jika berat infeksinya maka akan terjadi penetrasi melalui pembuluh darah karotis.7
2.4. PATOLOGI
Cavitas oral, uvula, anterior pillar, posterior pillar dan tonsil adalah tempat-tempat yang paling sering terbentuk abses. Diantara anterior pillar dan posterior pillar terdapat ruang peritonsiler, ruang retropharyngeal, ruang parapharyngeal dan banyak pembuluh darah. Kebanyakan abses peritonsiler didahului adanya gangguan atau penyakit sebelumnya di tonsil. Apabila terjadi infeksi akut di tonsil maka infeksi akan menyebar ke ruang peritonsiler sehingga menyebabkan selulitis peritonsiler atau bisa juga terjadi obstruksi di kelenjar Weber. Kelenjar Weber adalah kelenjar saliva yang terletak di pole tonsil, pole superior tonsil dan duktusnya menuju fossa tonsilaris. Apabila terdapat penyakit di tonsil, tonsillitis kronis dan lain-lain maka akan menyebabkan obstruksi di duktus tersebut dan menyebabkan stasis yaitu adanya kolonisasi bakteri sehingga terjadi infeksi bakteri yang berlanjut menjadi selulitis. Jika selulitis ini tidak diterapi dengan baik maka akan berlanjut menjadi abses peritonsiler. Abses dapat pecah sendiri, sembuh sendiri atau menyebar ke ruang retropharyngeal sampai ruang parapharyngeal. Gangguan ini juga bisa berkembang menjadi mediastinitis melalui pembuluh darah carotis dan bisa sampai terjadi sepsis dan menyebabkan kematian. 6

Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess formation). Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang.1
Infiltrasi supuratifa dari jaringan peritonsilaris terjadi paling sering pada fosa supratonsilaris (70%). Hal ini menyebabkan oedem palatum mole pada sisi yang terkena dan pendorongan uvula melewati garis tengah. Pembengkakan meluas ke jaringan lunak sekitarnya, menyebabkan rasa nyeri menelan dan trismus.4
Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.1
Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr (yaitu: mononucleosis).
2.5. GEJALA KLINIS
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeru menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.1
Pada kasus yang agak berat, biasanya terdapat disfagia yang nyata. Pembengkakan mengganggu artikulasi dan membuat bicara menjadi sulit. Demam sekitar 100o F, meskipun adakalanya mungkin lebih tinggi. Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit karena ketidakmampuan pasien membuka mulut. Pemeriksaan menyebabkan pasien merasa tidak enak. Diagnosis jarang sangsi jika pemeriksa melihat pembengkakan peritonsiler yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah dengan oedem dari palatum mole dan penonjolan dari jaringan ini ke arah garis tengah. Tonsilla sendiri Nampak normal juga terdorong ke medial dan pembengkakan terjadi lateral terhadap tonsilla. Palpasi jika mungkin membantu membedakan abses dari sellulitis.4

Gejala-gejala yang sering muncul pada abses peritonsiler diantaranya:2
• Mild/moderate distress
• Demam
• Tachycardia
• Dehidrasi
• Drooling, salivation, trouble handling oral secretions
• Trismus
• Hot potato/muffled voice  suara yang muncul seperti sedang makan makanan yang panas masih di dalam mulut
• Cervical lymphadenitis
• Asymmetric tonsillar hypertrophy
• Letak tonsil ke inferior atau medial
• Deviasi kontralateral the uvula
• Erythema pada tonsil
• Exudasi pada tonsil

2.6. BAKTERIOLOGI
Biakan tenggorokan diambil tetapi seringkali tidak membantu dalam mengetahui organism penyebab. Pasien tetap diobati dengan terapi antibiotic terlebih dahulu. Biakan dari drainase abses yang sebenarnya dapat menunjukkan terutama Streptococcus pyogenes dan yang agak jarang Staphylococcus aureus. Sprinkle dan lainnya menemukan insidensi yang tinggi dari bakteri anaerob yang memberikan bau busuk pada drainase. Organism-organisme tersebut biasanya ditemukan dalam rongga mulut termasuk anggota dari family Bacteridaceae.4
2.7. DIAGNOSTIK
Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran 16–18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.5




Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan5:
1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.
3. “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.
5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil).2
6. “Peripheral Rim Enhancement” Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography. Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2 % dan spesifitas 78,5 %. Transcutaneous ultrasonografi mempunyai sensifitas 80% dan spesifisitas 92,8 %.2

2.8. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah1:
1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan aspirasi paru, atau piema.
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.
Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progresi penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini. Komplikasi lain yang pernah dilaporkan diantaranya:
• Infeksi jaringan dinding dada dan leher
• Kekambuhan abses peritonsiler
• Aspirasi yang bisa berlanjut menjadi pneumonia atau penumonitis
• Abses cervical
• Mediastinitis
• Meningitis
• Sepsis
• Abses serebral
• Thrombosis vena jugular
• Rupture/ nekrosis arteri carotis
• Cedera arteri carotis (dari insisi dan drainase atau aspirasi jarum)
2.9. DIAGNOSA BANDING
 Peritonsillar cellulitis
 Retropharyngeal abscess
 Mononucleosis
 Pharyngitis
 Tonsillitis
 Carotid aneurysm
 Epiglottitis
 Parapharyngeal abscess
 Leukemia
 Lymphoma
 Tracheitis
 Ludwig angina2
2.10. TERAPI
 Perawatan prehospital untuk abses peritonsiler meliputi transport dengan oksigen yang adekuat.
 Managemen kegawat daruratan:
- ABC, beri perhatian pada jalan nafas pasien. Jika jalan nafas terdapat gangguan segera pasang intubasi endotrakheal. Jika dengan pemasangan ini masih belum dapat untuk menjaga patensi jalan nafas diperlukan cricothyroidotomy atau tracheotomy.
- Pasien dengan dehidrasi sering ditemukan karena kesulitan dalam makan dan minum sehingga memerlukan cairan intravena sampai masalah peradangan (inflammation) terpecahkan, sehingga tubuh pasien dapat memperoleh kembali intake cairan per oral yang cukup (adequate oral fluid intake).
- Antipyretics diberikan apabila terdapat kenaikan suhu dan analgesics dapat digunakan untuk mengurangi nyeri
- Aspirasi dengan jarum sebaiknya dilakukan untuk drainase abses dan harus tersedia pereda nyeri sedang. Abses yang lebih luas kadang membutuhkan insisi dan drainase.
- Antibiotic untuk terapi empiris infeksi streptococcus sebaiknya diberikan. Pemberian steroid terbukti menurunkan waktu rawat inap.
- Pasien dapat dirawat jalan kecuali terdapat tanda-tanda sepsis, gagal nafas danterdapat komplikasi.
Antibiotic termasuk dalam komponen utama terapi. Selain dengan drainase abses antibiotic biasanya mencukupi dalam kesembuhan abses. Terapi antibiotik sebaiknya dimulai setelah biakan (culture) diperoleh dari abses. Karena resistensi streptococcus mencapai 30% dan infeksi biasanya bercampur dengan flora normal banyak dokter merekomendasikan penggunaan kombinasi penisilin dan metronidazole (sensivitasnya 98%). Beberapa dokter masih menggunakan penisilin saja. Resistensi penisilin dilaporkan mencapai 11 – 65 %. Untuk pasien yang alergi terhadap penisilin pilihan lainnya adalah clindamycin. Analgesic dan kumur tenggorokan juga direkomendasikan. Beberapa praktisioner juga melaporkan penggunaan steroid untuk mengurangi oedem dan nyeri.2 Cephalexin atau cephalosporin lainnya (dengan atau tanpa metronidazole) merupakan pilihan pertama yang terbaik (the best initial option). Sebagai alternatifnya antara lain: (1)cefuroxime atau cefpodoxime (dengan atau tanpa metronidazole), (2)clindamycin, (3)trovafloxacin, (4)amoxicillin/clavulanate (jika diagnosis mononucleosis telah disingkirkan).5
Antibiotic yang sering diberikan pada abses peritonsiler disesuaikan dengan jenis mikrobanya, atau dengan melalui uji pertumbuhan bakteri dan sensitifitas terhadap antibiotic:4

ETIOLOGI ANTIBIOTIK
Streptococcus Penisilin
Bakteroides Sefalosporin
Hemofilus
Fusobakterium
Staphylococcus aureus
Peptococcus Klindamisin



Berikut antibiotic yang sering diberikan pada penderita abses peritonsiler:2
1. Clindamycin
Antibiotic semisintetik yang dihasilkan dari kelompok lincomycin 7(S)-chloro-substitution of 7(R)-hydroxyl menghambat pertumbuhan bakteri, kemungkinan dengan memblok pemisahan peptid tRNA dari ribosom yang menyebabkan sintesis RNA behenti. Pemberian secara luas tidak masuk ke CNS. Protein diikat dan diekskresi melalui ginjal dan hepar. Pemberian oral dan intravena diindikasikan untuk infeksi dengan suspect bakteri streptococcal, pneumococcal atau spesies staphylococcus. Antibiotic ini diabsorpsi baik di saluran pencernaan maupun secara parental.
Dosis dewasa: 150 – 450 mg PO per 8 jam dan 1.2 – 2.7 gram IV/ IM per 8 jam.
Dosis anak : 15 – 25 mg/ kg/ hari PO ; 25 – 40 mg/ kg/ hari IV/ IM2

2. Penisilin G Benzathine (Bicillin L-A)
Pemberian biasanya dikombinasikan dengan metronidazole. Efektif pemberiannya pada 98% pasien. Obat ini mengganggu multiplikasi sintesis sel dinding mukopeptida.
Dosis dewasa: 600 mg (~1 juta unit) IV q6h untuk 12 – 24 jam
Dosis anak: 12.500 – 25.000 U/ kg IV q6h

3. Metronidazole (flagyl)
Pemberian dengan kombinasi penisilin. Efektif pada 98% pasien. Cincin imiazole aktif melawan berbagai bakteri anaerob dan protozoa. Obat ini diabsorbsi di sel mikroorganisme yang mengandung nitroreductase. Komponen yang tidak stabil dibentuk untuk mengikat DNA dan menghambat sintesis sehingga menyebabkan kematian sel.
Dosis dewasa: loading dose : 15mg/ kg atau 1 gr untuk berat 70 kg IV. Maintenance dose: 6 h following loading dose, infuse 7.5 mg/kg or 500 mg for 70-kg adult over 1 h q6-8h; not to exceed 4 g/d.
Dosis anak: sama dengan dewasa
4. Nafcillin (Unipen)
Terapi inisial untuk streptococcus yang resisten dengan penisilin G atau untuk infeksi staphylococcus. Terapi inisial parenteral sering digunakan untuk infeksi yang berat. Terapi dilanjutkan per oral apabila kondisinya membaik. Karena trombophlebitis, seringnya pada orang dewasa pemberian parenteral hanya untuk jangka pendek ( 1 – 2 hari); terapi dirubah menjadi terapi per oral bila secara klinik diindikasikan.
Dosis untuk dewasa 1 – 2 gram IV q4h
Dosis untuk anak 50 mg/kg/hari IV dibagi dalam q4 – 6h
5. Erythromycin (E.E.S, Ery-Tab, Erythrocin)
Obat ini bekerja menghambat pertumbuhan bakteri, kemungkinaan dengan memblok pemecahan peptidyl tRNA dari ribosom, sehingga menyebabkan sintesis protein tergantung RNA berhenti. Obat ini digunakan untuk terapi curiga infeksi Staphylococcus (meliputi Staphylococcus aureus) dan infeksi Streptococcus. Obat ini juga sering diberikan pada pasien-pasien yang alergi terhadap penisilin.
Dosis dewasa: 15 – 20 mg/kg/ hari PO/IV dibagi q6h, dosis double pada infeksi yang berat
Dosis anak: 30 – 50 mg/ kg/ hari (15 – 25 mg/lb/ hari) PO/ IV dibagi q6 – 8h; dosis double untuk infeksi yang berat.
Terdapat suatu kajian yang melaporkan kebanyakan dokter umum memberikan antibiotic penisilin (62%) diikuti dengan cephalosporin dan clindamycin dengan persenan hampir sama yaitu 20% dan 21%. Terakhir adalah amoxicillin dan Augmentin. Kajian lain melaporkan pada dokter spesialis THT kebanyakan memberikan Amoxicillin dan Augmentin untuk terapi abses peritonsiler, dimana 7% nya diberikan secara intravena dan diikuti dengan pemberian steroid. Tonsilektomi pada abses pertama kali direkomendasikan. Winkler pada tahun 1911 dan Barnes pada tahun 1915 di Amerika Serikat adalah yang pertama kali menyarankan operasi ini. Holinger pada tahun 1921 memberikan 3 alasan kenapa operasi tonsilektomi sangat dianjurkan yaitu, menurunnya angka kekambuhan, angka kesembuhan yang lebih singkat dan sebagai alternative dari terapi drainase yang diusulkan sebelumnya yang lebih sulit. Operasi tonsilektomi pada abses peritonsilaris juga dilaporkan aman untuk dilakukan. 6
Pasien dapat diberi resep antibiotik oral sekali oral intake dapat ditoleransi tubuh dengan baik; durasi pengobatan sebaiknya antara7-10hari. Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.5
Penelitian yang dilakukan Hardingham merekomendasikan penisilin sebagai agen lini pertama dan jika tidak ada respon dalam 24 jam pertama, ditambahkan metronidazole 500 mg dua kali sehari. Semua specimen harus diperiksa untuk kultus sensitifitas terhadap antibiotic.7
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.1
Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.1
Jika terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik dengan teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase. Kesulitan dapat timbul dalam memastikan apakah berhubungan dengan selulitis akut atau pembentukan abses yang sebenarnya telah terjadi. Jika ragu-ragu jarum ukuran 17 dapat dimasukkan (setelah aplikasi dengan anestesi spray) ke dalam tiga lokasi yang tampaknya paling mungkin untuk menghasilkan aspirasi pus. Jika pus ditemukan secara kebetulan, metode ini mungkin cukup untuk drainase dengan diikuti antibiotic. Jika jumlah pus banyak ditemukan dan tidak cukup didrainase dengan metode ini, insisi yang lebih jauh dan drainase dapat dilakukan. Jika tidak ditemukan pus, tampaknya ini masih berhubungan dengan selulitis dibandingkan abses. Mereka yang menolak teknik ini berpatokan pada kenyataan bahwa 30% dari abses terdapat pada sisi inferior dari fosa tonsilaris dan tidak dapat dicapai dengan menggunakan teknik jarum.4
Teknik insisi dan drainase membutuhkan anestesi local. Pertama faring disemprot dengan anestesi topical. Kemudian 2 cc Xilokain dengan Adrenalin 1/ 100.000 disuntikkan. Pisau tonsil no. 12 atau no. 11 dengan plester untuk mencegah penestrasi yang dalam yang digunakan untuk membuat insisi melalui mukosa dan submukosa dekat kutub atas fosa tonsilaris. Hemostat tumpul dimasukkan melalui insisi ini dan dengan lembut direntangkan. Pengisapan tonsila sebaiknya segera disediakan untuk mengumpulkan pus yang dikeluarkan. Pada anak yang lebih tua atau dewasa muda dengan trismus yang berat, pembedahan drainase untuk abses peritonsiler mungkin dilakukan setelah aplikasi cairan kokain 4% pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fosa nasalis. Hal ini kadang-kadang mengurangi nyeri dan trismus. Anak-anak yang lebih muda membutuhkan anestesi umum. Menganjurkan tonsilektomi segera (tonsilektomi Quinsy) merasa bahwa ini merupakan prosedur yang aman yang membantu drainase sempurna dari abses jika tonsila diangkat. Hal ini mengurangi kebutuhan tonsilektomi terencana yang dilakukan enam minggu kemudian, dimana saat itu sering terdapat jaringan parut dan fibrosis dan kapsul tonsilaris kurang mudah dikenali. Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi segera diantaranya:
 Obstruksi jalan napas atas
 Sepsis dengan adenitis servikalis atau abses leher bagian dalam
 Riwayat abses peritonsilaris sebelumnya
 Riwayat faringitis eksudatifa yang berulang
Disamping pembedahan drainase baik dengan aspirasi jarum atau dengan insisi, pasien diobati dengan antibiotic dan irigasi cairan hangat. Walaupun biakan tidak menunjukkan adanya pertumbuhan karena pemberian antibiotic terlebih dahulu, antibiotic diberikan yang efektif melawan Streptococcus, Stafilococcus dan anaerob oral. Pada individu dengan abses peritonsiler ulangan atau riwayat faringitis ulangan, tonsilektomi dilakukan segera atau dalam jangka enam minggu kemudian dilakukan tonsilektomi.4
Banyak para ahli yang menyetujui tonsilektomi segera tidak dianjurkan untuk terapi abses peritonsiler. Tonsilektomi sebaiknya dilakukan tiga sampai enam bulan setelah terjadi tonsillitis rekuren atau abses peritonsiler.7
Banyak kontroversi yang memperdebatkan kegunaan antibiotic setelah drainase dan kegunaan kultur bakteri dan tonsilektomi. Penelitian yang dilakukan di Singapore General Hospital meneliti 185 pasien dimana 151 pasien (81.6 %) menderita abses peritonsiler dan 33 (18.4%) menderita selulitis peritonsiler dan 1 kasus menderita bilateral abses peritonsiler, keluhan yang paling banyak dikeluhkan adalah nyeri tenggorokan (100%), demam (92.4%) dan odynophagia (82.2 %). Penanganan yang terbaik adalah dengan drainase dan diikuti dengan pemberian antibiotic. Drainase dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu: dengan insisi dan drainase, aspirasi jarum atau abses tonsilektomi. Insisi dan drainase adalah cara yang paling sering digunakan untuk drainase.8
Penisilin sebagai agen antibiotic lini pertama bertarget pada bakteri Streptococcus (biasanya Streptococcus beta hemolyticus grup A) yang sering ditemukan pada isolasi. Pada kultur bakteri dan uji sensitifitas antibiotic menunjukkan semua bakteri succeptible dengan penicillin G, ampicillin dan erythromycin. Penggunaan antibiotic dengan penisilin saja, gabungan penisilin dan metronidazole dan antibiotic sephalosporin tidak memberikan perbedaan terhadap angka rawat inap. 8
Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses peritonsiler berkisar antara 0% sampai 22%. Kebanyakan kekambuhan muncul pada satu bulan pertama sampai dua bulan setelah gejala awitan pertama. Hal ini ditafsirkan sebagai gejala residual dari penyakit pertama dan bukan kekambuhan yang nyata. Wolf et al melaporkan adanya kekambuhan lebih tinggi pada pasien yang dilakukan aspirasi jarum daripada pada pasien dengan insisi dan drainase. Riwayat tonsillitis yang kambuh-kambuhan (sekurangnya 2 – 3 kambuhan per tahun) atau abses peritonsilaris adalah factor utama yang mempengaruhi management selanjutnya. Insidensi tonsillitis kambuh-kambuhan yang mendahului abses peritonsilaris bervariasi dari 21% sampai 56%. Tonsilektomi interval sebaiknya secara selektif dilakukan pada pasien dengan riwayat tonsillitis yang berulang yang dikhawatirkan menyebabkan infeksi peritonsiler.3
Terapi abses peritonsiler meliputi terapi konservatif, operasi selektif dan operasi pada stadium abses. Terapi konservatif utamanya mengambil pus dengan paracentesis, menginsisi dan drainase dengan nyeri yang lebih ringan, tetapi pasien yang diterapi dengan metode ini sembuh lebih lambat dan dapat kambuh. Selama operasi selektif, kondisi tonsil yang melekat ke jaringan peripheral dan bekas luka membuat pemisahan sulit. Pada prosedur selektif, ketika bagian-bagian yang merekat dipisahkan, serabut konstriktor faring akan mengalami kerusakan dan tonsil sulit untuk diekstirpasi dan meninggalkan bagian residual dengan waktu operasi yang lama menyebabkan perdarahan yang banyak. Operasi pada stadium abses, tonsil dipisahkan dari jaringan peripheral dan secara mudah didiseksi tanpa pembentukan jaringan parut dan pelekatan, serta resiko kerusakan lebih sedikit dan perdarahan yang lebih sedikit juga.3
Tonsilektomi adalah terapi terbaik untuk terapi abses peritonsiler untuk mencegah kekambuhan, dimana angka kekambuhannya tinggi. Di masa lalu operasi sebaiknya dilakukan 2 – 3 minggu setelah resolusi infeksi akut, tetapi setelah 2 – 3 minggu jaringan parut akan terbentuk di capsul tonsiler yang akan menyulitkan diseksi dan menyebabkan banyak perdarahan dan meninggalkan sisa jaringan. Tonsilektomi tidak hanya meringankan infeksi tetapi juga mengeliminasi abses karena antibiotic dapat mengontrol inflamasi secara efektif. Tonsilektomi pada stadium abses, jaringan lebih bengkak dan rapuh karena operasi dilakukan di stadium infeksi akut, kemungkinan akan meninggalkan sisa jaringan bila tidak dilakukan dengan hati-hati, operasi lebih sulit.3

2.11. PROGNOSIS
Abses peritonsiler yang tidak berkomplikasi dan mendapat perawatan yang baik akan sembuh 94%. Di Amerika Serikat angka kekambuhan 10%, meski di negara-negara lain bisa mencapai 15% atau lebih.

BAB III
KESIMPULAN

Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher akibat dari kolonisasi bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsiler. Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Abses peritonsiler terbentuk dia area antara tonsil palatine dan kapsulnya. Jika abses berlanjut maka akan menyebar ke daerah sekitarnya meliputi musculus masseter dan muskulus pterygoid. Jika berat infeksinya maka akan terjadi penetrasi melalui pembuluh darah karotis.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Penelitian yang dilakukan merekomendasikan penisilin sebagai agen lini pertama. Semua specimen harus diperiksa untuk kultus sensitifitas terhadap antibiotic. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi segera diantaranya adalah obstruksi jalan napas atas, sepsis dengan adenitis servikalis atau abses leher bagian dalam, riwayat abses peritonsilaris sebelumnya, riwayat faringitis eksudatifa yang berulang.
Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses peritonsiler berkisar antara 0% sampai 22%. Tonsilektomi adalah terapi terbaik untuk terapi abses peritonsiler untuk mencegah kekambuhan, dimana angka kekambuhannya tinggi. Pada individu dengan abses peritonsiler ulangan atau riwayat faringitis ulangan, tonsilektomi dilakukan segera atau dalam jangka enam minggu kemudian dilakukan tonsilektomi.



























DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, EA et al. 2008. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Fakultas Kedokteran Uniersitas Indonesia. Jakarta
2. http://emedicine.medscape.com/article/764188-overview
3. http://www.cjmed.net/html/2006712_43.html?PHPSESSID=28d51ad055ae04f2529d1241b27c0187 Cheng Fang Ming. 2006. Efficacy of three therapeutic methods for peritonsillar abscess. Journal of Chinese Clinical Medicine;2006,7;Vol.1,No.2.
4. Adams et al. 1997. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
5. http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&jd=Tips+Praktis+Mengenali+Abses+Peritonsil&dn=20080125161248
6. http://www.bcm.edu/oto/grand/04_18_02.htm
7. http://www.aafp.org/afp/20020101/93.html
8. Ong YK et al. 2004. Peritonsillar Infection: Local Experience. Singapore Med J 2004 Vol 45(3) : 105.

No comments:

Post a Comment