Wednesday, September 30, 2009

PRESENTASI KASUS DECOMPENSATIO CORDIS DENGAN EDEMA PULMONUM

PRESENTASI KASUS
DECOMPENSATIO CORDIS DENGAN EDEMA PULMONUM
Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Radiologi RSUD Wonosobo


Diajukan kepada :
dr. Kus Budayantiningrum Sp.Rad

Disusun oleh :
Zakiah Nur Istianah (20030310054)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA BAGIAN RADIOLOGI
BRSD KABUPATEN WONOSOBO
2009
HALAMAN PENGESAHAN

Diajukan Oleh :
Zakiah Nur Istianah (20030310054)

Telah dipresentasikan dan disetujui presus dengan Judul :
DECOMPENSATIO CORDIS DENGAN EDEMA PULMONUM

Tanggal : 30 Juli 2009
Tempat: BRSD Wonosobo


Disahkan Oleh :
Dosen Pembimbing


(dr. Kus Budayantiningrum Sp.Rad)




BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Tn. CS
Umur : 79 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sawit, Surogede Kertek, Wonosobo
NO. CM : 44 11 33
Masuk RS : 28 Juli 2009 (00.30)
Ruang : Herbra

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dengan Pasien pada tanggal 28 Juli 2009 (19.00)
Keluhan Utama : Sesak nafas & Nyeri dada kiri

Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke BRSD Wonosobo dengan keluhan sesak nafas sejak 1 Minggu SMRS, memberat 1 HSMRS, sesak nafas ini dirasakan kambuh-kambuhan sejak 2 tahun terakhir, sesak nafas dirasakan saat istirahat, memberat bila pasien bekerja sehingga membuat pasien membatasi pekerjaan. Saat muncul gejala, dada dirasakan nyeri, terutama sebelah kiri menyebar hingga seluruh dada. Sesak nafas muncul jika pasien kecapaian, udara dingin dan bekerja terlalu berat. Saat sesak nafas muncul bunyi mengi, namun sekarang sudah tidak. Malam hari pasien kadang-kadang terbangun karena sesak nafas, dengan posisi tidur bantal ditinggikan membuat pasien agak lega. Mual juga dikeluhkan, muntah 1x sebelum dibawa ke rumah sakit. BAB dan BAK lancar normal.

Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien pernah menderita penyakit serupa kambuh-kambuhan sejak 2 tahun yang lalu.
Riwayat hipertensi ada
Riwayat penyakit gula disangkal
Riwayat penyakit asma disangkal pasien

Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang menderita gejala serupa dengan pasien.

III. PEMERIKSAAN FISIK :
Keadaan Umum : lemah, tampak sesak napas.
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign :
Tekanan Darah : 130 / 90 mmHg
Nadi : 92 x / menit
Suhu : 36,6 º C
Respirasi : 30 x / menit.

1. Kepala :
Bentuk Kepala : Mesochepal, Simetris
Rambut : Hitam, sebagian putih, mudah dicabut.
Nyeri tekan : Tidak ada.

2. Mata
Palpebra : Tidak ada oedem
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Tidak ikterik
Pupil : Berespon terhadap rangsang cahaya, Isokor, diameter 2 mm.

3. Hidung : Simetris, tidak Nampak deformitas, tidak ada secret atau darah, nafas cuping hidung tidak ada.
4. Mulut : Bibir tidak kering, tidak sianosis, lidah tidak kotor, faring tidak hiperemi.
5. Telinga : Tidak ada deformitas, otore maupun nyeri tekan.
6. Leher :
Trakhea : Tidak terdapat deviasi trachea
Kel. Tiroid : Tidak membesar
Kel. Limfe : Tidak membesar
JVP : Tidak meningkat 5 – 2 cmH2O
7. Dada
Paru-paru
Inspeksi : Simetris, tidak tampak deformitas, tidak terdapat retraksi, tidak tampak jejas.
Palpasi : Tidak terdapat ketinggalan gerak, vocal fremitus kanan sama dengan kiri.
Perkusi : Sonor di lapang paru atas, redup pada regio basal, redup berubah dengan perubahan posisi (dx dan sin)
Auskultasi : SD Vesikuler (+/+), Ronkhi Basah Halus (+/+), Ronkhi Basah Basal (+/+)

8. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis terlihat di SIC VI linea axillaris anterior sinistra
Palpasi : Ictus Cordis teraba di SIC VI Linea axillaris anterior sinistra, kuat angkat.
Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC III LPS dx
Batas jantung kiri atas : SIC III LMC sinistra
Batas jantung kanan bawah : SIC V LPS dx
Batas jantung kiri bawah : SIC VI linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi : BJ I-II reguler. Bising (-).
9. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sama dengan dinding dada, tidak ada deformitas.
Auskultasi : Persitaltic usus normal
Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan, hepar lien tidak teraba.
Perkusi : Tymphani di seluruh lapang abdomen.

10. Ekstremitas
Superior : Tidak terdapat oedema, akral hangat, tidak pucat, tidak sianosis.
Inferior : terdapat oedema dx dan sin (minimal), akral hangat, tidak pucat, tidak sianosis.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan darah rutin :
AL : 8,15 rb/mm3
AE : 0,24 jt/mm3
Hb : 12,2 gr/dL
Ht : 36,29 %
MCV : 90
MCH : 30,5
MCHC : 33,7
AT : 162 rb/mm3

Kimia Darah :
GDS : 144 Mg%
Chol.tot : 203 Mg%
TG : 70 Mg%
Ur : 28,72 Mg%
Cr : 1,4 Mg%
OT : 15 U/l
PT : 32 U/l
Asam urat : 9,90 Mg%
2. Ro Thorax :
Cor: kesan membesar
Hitung CTR = (a+b) = (4,5+11) = 0,56 > 0,5
(c1+c2) (14,5+13
Pulmo: corakan bronkhovaskuler bertambah
Tampak bercak-bercak kesuraman pada kedua paru
Diaphragm dan sinus dbn
Kesan: cor : cardiomegali
Pulmo: suspect oedem pulmonum


3. USG Abdomen
Tidak dilakukan

4. CT-Scan Thorax :
Tidak dilakukan
V. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis Fungsional: decompensatio cordis NYHA III
Diagnosis Anatomi: LVH, RVH
Diagnosis Etiologi: AMI

VI. PENATALAKSANAAN
• Bed rest posisi ½ duduk
• O2 2 liter / menit
• Infus D 5% 24 jam/ 1 kolf
• Pasang DC
• Inj. Furosemid 1 gr/ 24 jam
• Inj. Ceftriaxon 2 gr/ 24 jam
• Aspilet 2x1
• KSR 1x1
• Ulang EKG

















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) ditandai oleh sesak nafas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung (Price, 2006).

B. EPIDEMIOLOGI
Kejadian gagal jantung di Eropa berkisar antara 0,4% - 2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prognosis dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki, 50% dari pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun pertama (Price, 2006).

C. ETIOLOGI
Penyebab dari gagal jantung adalah penyakit yang menimbulkan penurunan fungsi ventrikel (seperti penyakit arteri koroner, hipertensi, kardiomiopati, penyakit pembuluh darah atau penyakit jantung congenital) dan keadaan yang membatasi pengisian ventrikel (stenosis mitral, kardiomiopati atau penyakit pericardial). Factor pencetus termasuk meningkatnya asupan garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infark miokard akut (mungkin yang tersembunyi), serangan hipertensi, aritmia akut, infeksi atau demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan dan endokarditis infektif (Sudoyo, 2007).



D. MANIFESTASI KLINIS
Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan, gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal jantung kanan dan gagal jantung kongestif. Gejala dan tanda yang timbul pun berbeda, sesuai dengan pembagian tersebut.
Pada gagal jantung kiri terjadi dyspneu d’effort, fatig, ortopnea, dispnea nocturnal paroksimal, batuk, pembesaran jantung, irama derap, ventricular heaving, bunyi derap S3 dan S4, pernafasan Cheyne Stokes, takikardia, pulsus alternans, ronkhi dan kongesti vena pulmonalis. Pada gagal jantung kanan timbul fatig, edema, liver engorgement, anoreksia dan kembung. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan hipertrofi jantung kanan, heaving ventrikel kanan, irama derap atrium kanan, murmur, tanda-tanda penyakit paru kronik, tekanan vena jugularis meningkat, bunyi P2 mengeras, ascite, hidrotoraks, peningkatan tekanan vena, hepatomegali dan edema putting. Gagal jantung kongestif terjadi manifetasi gabungan gagal jantung kanan dan kiri (Price, 2006).
New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungional dalam 4 kelas:
Kelas I : Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan
Kelas II: Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-hari tanpa keluhan
Kelas III: Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan
Kelas IV: Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus tirah baring. (Sudoyo, 2007).

Diagnosis gagal jantung kongestif (Criteria Framingham)
Criteria Mayor:
1. Dispnea nocturnal paroksimal atau ortopnea
2. Peningkatan tekanan vena jugularis
3. Ronkhi basah tidak nyaring
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Irama derap S3
7. Peningkatan tekanan vena >16 cm H2O
8. Refluks hepatojugular
Criteria minor
1. Edema pergelangan kaki
2. Betuk malam hari
3. Dyspneu d’eefort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum
7. Takikardi (>120x menit)

Criteria mayor atau minor
Penurunan berat badan >4.5 kg dalam 5 hari setelah terapi
Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor ; atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor harus ada saat bersamaan (Sudoyo, 2007).
Edema paru merupakan penimbunan cairan serosa atau serosanguinosa yang berlebihan dalam ruang interstitial paru dan alveolus paru. Jika edema timbul akut dan luas sering disusul oleh kematian dalam waktu singkat. Edema paru dapat terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatika dalam kapiler paru, penurunan tekanan osmotic koloid seperti pada nefritis, atau kerusakan dinding kapiler. Dinding kapiler yang rusak dapat disebabkan oleh inhalasi gas-gas yang berbahaya, peradangan seperti pada pneumonia atau karena gangguan local proses oksigenai. Penyebab tersering edema paru adalah kegagalan ventrikel kiri akibat penyakit jantung arteriosklerotik atau stenosis mitralis (obstruksi katup mitral). Jika terjadi gagal jantung kiri dan jantung kanan terus memompakan darah maka tekanan kapiler paru akan meningkat sampai terjadi edema paru (Price, 2006)
Pembentukan edema paru dapat terjadi dalam dua stadium:
1. Edema interstitial yang ditandai pelebaran ruang perivaskuler dan ruang peribronkial serta peningkatan aliran getah bening
2. Edema alveolar terjadi sewaktu cairan bergerak masuk ke dalam alveoli.
Plasma darah mengalir lebih cepat ke dalam alveoli daripada kemampuan pembersihan oleh batuk atau getah bening paru. Plasma ini akan mengganggu difusi O2, sehingga hipokssia jaringan yang diakibatkannya menambah kecenderungan terjadinya edema. Asfiksia dapat terjadi bila tidak segera diambil tindakan untuk menhilangkan edema paru. Pengobatan darurat pada edema paru akut berupa tindakan-tindakan untuk mengurangi tekanan hidrostatik paru, antara lain dengan menempatkan pasien dalam posisi Fowler dengan kaki menggantung; torniket yang berpindah-pindah; atau flebotomi (pembuangan darah sebanyak kira-kira 0,5 L). tindakan lain adalah dengan pemberian diuretic, O2 dan digitalis untuk memperbaiki kontraktilitas miokardium (Price, 2006).
Jika terjadi kongesti paru paif kronik, mungkin akan timbul perubahan structural paru (misalnya, fibrosis paru). Perubahan-perubahan ini memungkinkan paru berfungsi dalam keadaan terjadi peningkatan tekanan hidrostatik untuk sementara namun tanpa edema paru. Akan tetapi, keseimbangan ini tidak pasti dan pasien mungkin mengalami serangan dispneu pada waktu malam hari akibat peningkatan tekanan hidrostatik paru yang timbul karena posisi tubuh horizontal (Price, 2006)

E. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis gagal jantung antara lain:
1. Penyakit paru: pneumonia, PPOK, asma eksaserbasi akut, infeksi paru berat misalnya ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)
2. Penyakit Ginjal: gagal ginjal akut atau kronik, sindrom nefrotik, diabetic nefropati
3. Penyakit Hati: sirosis hepatic
4. Sindroma hiperventilasi: psikogenik atau penyakit ansietas berat (Sudoyo, 2007)

F. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Dalam membantu penegakan diagnosis gagal jantung dapat dilakukan pemeriksaan berikut ini:

1. EKG
Pasien gagal jantung jarang dengan EKG normal dan bila terdapat EKG normal dianjurkan untuk meneliti diagnosis gagal jantung tersebut. EKG sangat penting dalam menentukan irama jantung

2. Foto Toraks
Terdapat hubungan lemah antara ukuran jantung pada foto toraks dengan fungsi ventrikel kiri. Pada gagal jantung akut sering tidak terdapat kardiomegali. Kardiomegali mendukung diagnosis gagal jantung khususnya bila terdapat dilatasi vena lobus atas. Foto rontgen adalah indicator penting untuk menentukan ukuran jantung dan mendeteksi pembesaran. Yang paling umum digunakan adalah CTR (cardiothoracic Ratio). Selain itu juga digunakan diameter tranversal jantung. CTR adalah perbandingan diameter transversal jantung dengan diameter transversal rongga thoraks. Rasio normalnya 50% (55% untuk orang Asia dan Negro). Rasio ini meningkat pada orang tua dan pada neonates kadang mencapai 60%. Metode ini tidak bisa dipakai pada orang yang letak jantungnya mendatar (horizontal) atau vertical dan orang dengan pericardium penuh lemak (Malueka, 2008).

CTR = (a+b)
(c1+c2)
Keterangan:
Garis a: jarak dari penonjolan yang dibentuk oleh atrium kordis dekstra sampai ke Linea mediana
Garis b: jarak dari penonjolan yang dibentuk oleh ventrikel kordis sinstra sampai ke linea mediana
Garis c: jarak dinding kanan-dinding kiri melalui sinus kardiofrenik.
Normal = 48 – 50% (Malueka, 2008).



GAMBARAN RADIOLOGIS GAGAL JANTUNG KIRI
Pada foto thoraks gagal jantung terlihat perubahan corakan vaskuler paru
1. Distensi vena di obus superior, bentuknya menyerupai huruf Y dengan cabang lurus mendatar ke lateral
2. Batas hilus pulmo terlihat kabur
3. Menunjukkan adanya edema pulmonum keadaan awal
4. Terdapat tanda-tanda edema pulmonum meliputi edema paru interstitial dan alveolar.
Edema interstitial: edema ini menunjukkan septal line yang dikenal sebagai Kerley’s line, ada 4 jenis yaitu:
a. Kerley A: garis panjang di lobus superior paru, berasal dari daerah hilus menuju ke atas dan perifer
b. Kerley B: garis-garis pendek dengan arah horizontal tegak lurus pada dinding pleura dan letaknya di lobus inferior, paling mudah terlihat karena letaknya tepat diatas sinus costophrenicus
Garis ini adalah yang paling mudah ditemukan di gagal jantung
c. Kerley C: garis-garis pendek, bercabang, ada di lobu inferior. Perlu pengalaman untuk melihatnya, karena hampir sama dengan pembuluh darah.
d. Kerley D: garis-garis pendek, horizontal, letaknya retrostrenal hanya tampak pada foto lateral (Malueka, 2008).

Edema alveolar: terjadi pengurangan lusensi paru yang difus mulai dari hilus sampai ke perifer bagian atas dan bawah. Gambaran ini dinamakan butterfly appearance/ butterfly patterns atau bat’s wing pattern. Batas kedua hilus menjadi kabur (Malueka, 2008).



GAMBARAN RADIOLOGIS GAGAL JANTUNG KANAN
Beberapa tanda khas gagal jantung kanan adalah:
• Vena cava superior melebar, terlihat sebagai pelebaran di suprahiler kanan sampai ke atas
• Vena azygos membesar sampai mencapai lebih dari 2 mm
• Efusi pleura, biasanya terdapat di sisi kanan atau terjadi bilateral
• Interlobar effusion atau fissural effusion. Sering terjadi pada fissure minor, bentuknya oval atau elips. Setelah gagal jantung dapat diatasi, maka efusi tersebut menghilang, sehingga dinamakan vanishing lung tumor sebab bentuknya mirip tumor paru.
• Kadang-kadang disertai dengan efusi pericardial (Malueka, 2008).

3. Hematolosi dan biokimia (pemeriksaan laboratorium)
Peningkatan hematokrit memnunjukkan bahwa sesak nafas mungkin disebabkan oleh penyakit paru, penyakit jantung congenital atau malformasi arteri vena. Kadar ureum dan kreatinin penting untuk diagnosis differential penyakit ginjal. Kadar kalium dan natrium merupakan predictor mortalitas

4. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk diagnosis optimal gagal jantung dalam menilai fungsi sistolik dan diastolic ventrikel kiri, katup, ukuran ruang jantung, hipertrofi dan abnormalitas gerakan

5. Tes fungsi paru
6. Uji latih beban jantung
7. Kardiologi nuklir




G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan gagal jantung pada prinsipnya dapat dilakukan hal-hal berikut ini:
1. Meningkatkan okigenasi dengan pemberian O2 dan menurunkan pemakaian oksigen dengan pembatasan aktivitas
2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
3. Menurunkan beban jantung dengan diet rendah garam, diuretic dan vasodilator (Sudoyo, 2007).

PEMBAHASAN
Diagnosa gagal jantung pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa didapatkan keluhan sesak nafas memberat 1 HSMRS, sesak nafas dirasakan kambuh-kambuhan sejak 2 tahun terakhir, dirasakan saat istirahat, memberat bila pasien bekerja sehingga membuat pasien membatasi pekerjaan. Saat muncul gejala, dada dirasakan nyeri, terutama sebelah kiri menyebar hingga seluruh dada. Sesak nafas muncul jika pasien kecapaian, udara dingin dan bekerja terlalu berat. Saat sesak nafas muncul bunyi mengi, namun sekarang sudah tidak. Malam hari pasien kadang-kadang terbangun karena sesak nafas, dengan posisi tidur bantal ditinggikan membuat pasien agak lega. Mual juga dikeluhkan, muntah 1x sebelum dibawa ke rumah sakit. Pasien juga mempunyai riwayat hipertensi
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah dan tampak seak nafas, dengan vital sign Tekanan Darah : 130 / 90 mmHg, Nadi: 92 x / menit dan Respirasi meningkat : 30x / menit. Pemeriksaan paru perkusi didapat sonor di lapang paru atas, redup pada regio basal, redup berubah dengan perubahan posisi (pada paru dx dan sin), pemeriksaan auskultasi paru didapat: SD Vesikuler (+/+), Ronkhi Basah Halus (+/+), Ronkhi Basah Basal (+/+). Pemeriksaan jantung didapat batas jantung melebar. Extremitas inferior didapat edema minimal. Dari pemeriksaan fisik dan anamnesa mendukung adanya tanda-tanda gagal jantug kanan dan kiri. Tanda-tanda gagal jantung kiri pada pasien ini yaitu: dyspneu d’effort, fatig, ortopnea, dispnea nocturnal paroksimal, pembesaran batas jantung, ronkhi basah halus dan ronkhi basah basal (tanda edema). Pada gagal jantung kanan timbul fatig, edema pulmo dan anoreksia
Pemeriksaan radiologi didapat Cor: kesan membesar dengan hitung CTR 0,56, pada Pulmo: corakan bronkhovaskuler bertambah, tampak bercak-bercak kesuraman pada kedua paru, diaphragm dan sinus dbn. Gambaran paru didapat Garis Kerley untuk menentukan edema interstitial sulit dinilai pada pasien ini, gambaran pengurangan lusensi paru yang difus mulai dari hilus sampai ke perifer bagian atas dan bawah (butterfly appearance/ butterfly patterns atau bat’s wing pattern) terlihat pada gambaran rontgennya, hal ini menunjukkan adanya edema alveolar. Edema alveolar merupakan kelanjutan dari edema interstitial. Sehingga didapat kesan cardiomegali dan suspect oedem pulmonum.
Gagal jantung kiri pada pasien ini merupakan komplikasi mekanis yang paling sering terjadi setelah infark miokardium, yaitu pada 50% kasus. Tanda-tanda adanya infark adalah adanya keluhan nyeri dada sebelah kiri yang dijalarkan ke seluruh bagian dada pada pasien ini. Hal ini sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan EKG untuk melihat adanya kelainan di gelombang T apakah ada depresi atau T inverted. Infark miokardium mengganggu fungsi miokardium karena menyebabkan pengurangan kontraktilitas, menimbulkan gerakan dinding yang abnormal dan mengubah daya kembang ruang jantung tersebut. Dengan berkurangnya kemampuan ventrikel kiri untuk mengosongkan diri, maka besar curah sekuncup berkurang sehingga volume sisa ventrikel meningkat. Akibatnya tekanan jantung sebelah kiri meningkat. Kenaikan tekanan ini disalurkan ke belakang ke vena pulmonalis. Bila tekanan hidrostatik dalam kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik vaskuler maka terjadilah proses transudasi ke dalam ruang interstitial menyebabkan edema pulmo interstitial. Bila tekanan ini masih meningkat lagi, terjadi edema paru-paru alveoli akibat perembesan cairan ke dalam alveoli. Edema alveoli tampak pada pemeriksaan rontgen paru.
Gagal jantung kanan pada pasien ini adalah akibat meningkatnya tekanan vaskuler paru-paru hingga membebani ventrikel kanan. Selain tak langsung melalui pembuluh paru-paru terebut, disfungsi ventrikel kiri juga mempengaruhi langsung terhadap ventrikel kanan melalui fungsi anatomis dan biokimianya. Kedua ventrikel mempunyai satu dinding yang ama, yaitu septum interventrikuler dan keduanya terletak dalam pericardium. Selain itu, perubahan-perubahan biokimia seperti berkurangnya cadangan norepinefrin miokardium selama gagal jantung dapat merugikan kedua ventrikel.

DAFTAR PUSTAKA

Malueka, RG. 2008. Radiologi Diagnostik. Pustaka Cendekia Press. Yogyakarta.
Price, A.S et al. 2006. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume I Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Price, A.S et al. 2006. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume II Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Sudoyo, Aru W. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, FK UI, Jakarta.

PRESENTASI KASUS CA PARU

BAB I
PRESENTASI KASUS
Gambaran Radiologi pada Ca Paru

I. IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Tn. S
Umur : 69 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Tani
Alamat : Gading Rejo, Sarwodadi Lor, Kepil
CM : 44 00 36
Masuk RS : 14 Juli 2009
Ruang : Cempaka

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dengan Pasien pada tanggal 21 Juli 2009.
Keluhan Utama : Nyeri dada & sesak nafas.

Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSU dengan keluhan nyeri pada dada sebelah kanan. Nyeri dirasakan menjalar sampai ke perut sebelah kiri atas. Pasien juga merasa nyeri setiap kali pasien menarik napas. Napas dirasakan agak sesak. Keluhan ini dirasakan sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu dan mulai memberat dalam beberapa minggu ini. Pasien sudah berobat namun belum ada perbaikan. Pasien juga mengeluh mual dan muntah, susah makan, BAB dan BAK masih lancar.

Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien belum pernah menderita gejala serupa seperti ini sebelumnya.
Riwayat penyakit jantung dan paru-paru disangkal.
Riwayat darah tinggi dan penyakit gula juga disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang menderita gejala serupa dengan pasien.

III. PEMERIKSAAN FISIK :
Keadaan Umum : Sedang, tampak sesak napas.
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign :
Tekanan Darah : 100 / 70 mmHg
Nadi : 88 x / menit
Suhu : 36,8 º C
Respirasi : 28 x / menit.

1. Kepala :
Bentuk Kepala : Mesochepal, Simetris
Rambut : Hitam, sebagian putih, mudah dicabut.
Nyeri tekan : Tidak ada.

2. Mata
Palpebra : Tidak ada oedem
Konjungtiva : Anemis (+/+)
Sklera : Tidak ikterik
Pupil : Berespon terhadap rangsang cahaya, Isokor, diameter 2 mm.

3. Hidung : Simetris, tidak Nampak deformitas, tidak ada secret atau darah, nafas cuping hidung tidak ada.
4. Mulut : Bibir tidak kering, tidak sianosis, lidah kotor, faring tidak hiperemi.
5. Telinga : Tidak ada deformitas, otore maupun nyeri tekan.




6. Leher :
Trakhea : Tidak terdapat deviasi trachea
Kel. Tiroid : Tidak membesar
Kel. Limfe : Tidak membesar
JVP : meningkat 5+0

7. Dada
Paru-paru
Inspeksi : Simetris, tidak tampak deformitas, tidak terdapat retraksi, tidak tampak jejas.
Palpasi : Terdapat ketinggalan gerak, vocal fremitus kiri lebih teraba daripada yang kanan.
Perkusi : Sonor pada regio pulmo sinistra dan redup pada regio pulmo dextra.
Auskultasi : SD Vesikuler menurun pada pulmo dx, ronkhi kasar (+/+),

8. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba di SIC V Linea axillaris anterior sinistra, kuat angkat.
Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC III LPS dx
Batas jantung kiri atas : SIC III LMC sinistra
Batas jantung kanan bawah : SIC IV LPS dx
Batas jantung kiri bawah : SIC IV LMC sinistra

9. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sama dengan dinding dada, tidak ada deformitas.
Auskultasi : Persitaltic usus normal
Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan, hepar lien tidak teraba.
Perkusi : Tymphani di seluruh lapang abdomen.

10. Ekstremitas
Superior : Tidak terdapat oedema, akral hangat, tidak pucat, tidak sianosis.
Inferior : Tidak terdapat oedema, akral hangat, tidak pucat, tidak sianosis.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan darah rutin :
AL : 11,87 rb/mm3
AE : 4,62 jt/mm3
Hb : 7,6 gr/dL
Ht : 37,51 %
MCV : 81
MCH : 29,0
MCHC : 35,8
AT : 357 rb/mm3
Gol : O
BT : 3’
CT : 5’ 30’’

Kimia Darah :
GDS : 123 gr/dL
Ur : 23,4
Cr : 0,8
OT : 17
PT : 9

2. Ro Thorax :
Cor :
Kesan suspek membesar
Pulmo :
Corakan Bronchovaskular bertambah
Tampak gambaran opak homogen pada paracardial dextra
Diafragma DBN, sinus Dx & Sin DBN
Kesan :
Cor : Cardiomegali
Pulmo : Gambaran Bronchitis
Curiga massa paracardial dextra (pada mediastinum)



3. USG Abdomen
Hepar :
Besar normal, struktur Parenchyma homogen.
Sistem Vaskuler & biliare tak melebar
V. Fellea:
Besar normal, Sludge (+), batu (-)
Tampak bayangan massa dengan struktur jaringan padat diatas diafragma dektra, sebelah kanan cor.
Lien :
Besar normal, parenchyma DBN
Ren dx & sin :
Besar normal, PCS tidak melebar, parenchyma DBN
Gaster :
Jumlah udara meningkat, dinding tak menebal.
Usus :
Udara usus meningkat, dilatasi usus (-), massa (-)
V. Urinaria :
Dinding irregular, batu (-), endapan (+++)
Kesan
Curiga massa diatas diafragma ( mediastinum? )


4. CT-Scan Thorax dengan Kontras :
 Tampak massa isodens dengan penyangatan bagian tepi pada pemberian kontras pada mediastinum inferior posterior dextra, yang mendesak lobus inferior paru dx.
 Ukuran 60,7 x 62,4 x 71,4 mm
 Tampak pelebaran pada cabng-cabang bronkus lobus inferior posterior dx.
 Tak tampak penebalan pleura.
 Tampak gbr seperti lnn parahylus yang membesar pada hylus dx.
 Trachea tampak di tengah
 Paru kiri masih baik.
 Aorta, Cor & pericardium tak
 Tampak destruksi costa IX posterior.
 Ampak destruksi corpus Vth IX sisi dx.
Kesan :
 Massa tumor pada mediastinum inferior posterior dx
 ( Cenderung malignancy)
 Pendesakan paru dx oleh massa tumor.
 Bronchiectasis pada lap bawah paru dx
 Pembesaran Lymphonodi parahiler dx
 Destruksi costa IX posterior dan corpus Vth IX










V. DIAGNOSIS KERJA
Ca Paru / Ca Mediastinum

VI. PENATALAKSANAAN
• O2 2 liter / menit
• Infus D 5% + Tramadol
• Injeksi Ranitidin 2x1 gr
• Renadinac 3x250 mg
• Pamol 3x500 mg




















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
CA PARU

Kanker Paru adalah kanker ganas yang paling sering terjadi pada pria dan pada wanita, menempati nomor empat setelah kanker payudara, colon dan kulit. Dari 100 Ca Paru, kurang dari 10 orang saja yang biasanya masih dapat bertahan sampai 5 tahun. Diagnosis pertama sering berasal dari dugaan ketika melihat hasil foto rontgen. Kebanyakan sudah tidak operable lagi ketika pertama ditemukan, karena sudah cukup besar untuk tampak di foto Rontgen.

Klasifikasi
Klasifikasi tumor ganas paru menurut Leebow adalah :
I. Tumor ganas Epitelial (Primary Malignant Epithelial Tumours)
A. Karsinoma Bronkogen
1. Epidermoid ( squamous cell ca ) : 45-60%
2. Adenokarsinoma : 15%
3. Karsinoma Anaplastik : 30%
4. Campuran ( mixed )
B. Karsinoma Bronkiolar (Alveolar cell carcinoma / Pulmonary Adenomatosis)
C. Adenoma Bronkial.
II. Sarkoma
A. Differentiated spindle cell sarcoma
B. Differentiated sarcoma
C. Limfosarcoma primer
III. Mixed Epithelial and sarcomatous tumor (Carcinosarcoma)
IV. Neoplasma asal system retikuloendotelial (RES) dalam paru.
V. Metastasis pada paru

Gambaran Radiologik
Pemeriksaan radilogik untuk mencari tumor ganas bermacam-macam, antara lain bronkografi Invasif, CT-scan dengan pesawat yang canggih, tetapi pemeriksaan radiologic konvensional (Thorax PA, lateral, fluoroskopi) masih tetap mempunyai nilai diagnostic yang tinggi, meskipun kadang-kadang tumor itu sendiri tidak terlihat tetapi kelainan sebagai akibat adanya tumor akan sangat dicurigai kea rah keganasan, misalnya kelainan emfisema setempat, atelektasis, peradangan sebagai komplikasi tumor atau akibat bronkus terjepit dan pembesaran kelenjar hilus yang unilateral. Efusi pleura yang progresif daan elevasi diafragma (paralisis nervus frenikus) juga perlu dipertimbangkan sebagai akibat tumor ganas paru).





1. Atelektasis
Gambaran perselubungan padat akibat hilangnya aerasi yang disebabkan sumbatan bronkus oleh tumor, dapat terjadi secara segmental, lobaris atau seluruh hemithorax. Gambaran Atelektasis secara radiologic tidak berbeda dengan atelektasis yang disebabkan oleh penyumbatab bronkus lainnya.

2. Pembesaran Hillus Unilateral
Suatu perbedaan besar hillus antara kedua hilus atau perbedaan besar hilus dengan foto-foto sebelumnya perlu dicurigai adanya suatu tumor dan perlu penelitian bronkus dengan tomografi atau bronkoskopi.

3. Emfisema Lokal (setempat)
Penyumbatan sebagian lumen bronchus oleh tumor akan menghambat pengeluaran udara sewaktu ekspirasi sehingga terjadi denssitas yang rendah atau emfisema setempat dibandingkan daerah lain.
Karsinoma Bronkogen jenis anaplastik sering mengenai bronkus utama yang mengakibatkan pelebaran mediastinum. Keadaan ini sukar dibedakan dengan limfoma maligna.
4. Kavitas atau abses yang soliter
Suatu kavitas soliter dengan tanda infeksi yang tidak berarti terutama pada orang berusia lanjut, perlu dipikirkan suatu karsinoma bronkogrn jenis epidermoid. Biasanya dinding kavitas tebal dan irregular.

5. Pneumonitis yang sukar sembuh
Peradangan paru sering disebabkan aerasi tidak sempurna akibat sumbatan sebagian bronkus dan pengobatan dengan antibiotic umumnya tidak memberikan hasil yang sempurna atau berulang kembali peradangannya. Sering setelah peradangannya berkurang, di daerah peradangan terlihat gambaran massa yang sangat dicurigai sebagai keganasan paru.
6. Massa di Paru
Karsinoma Bronkogen dimulai sebagai bayangan noduler kecil di perifer paru dan akan berkembang menjadi suatu massa di paru dan akan berkembang menjadi suatu massa sebelum terjadi keluhan. Biasanya massa di paru sebesar 4-12cm berbentuk bulat atau oval yang berbenjol (globulated) dan kadang-kadang pada pemeriksaan tomografi terlihat gambaran yang radiolusen yang menunjukkan adanya nekrosis di dalam tumor.

7. Tumor Paru
Pemeriksaan Tomografi computer dapat memberikan informasi lebih banyak. Penilaian pada massa primer paru berupa besarnya densitas massa yang dapat member gambaran yang inhomogen pada massa sifat ganas atau homogen pada massa jinak, pinggir massa dapat diperlihatkan lebih jelas, tidak teratur atau spikula / pseudopodi pada massa ganas, batas rata pada jinak.
Pemberian bahan kontras IV dapat menentukan sifat massa yang menyangat pada massa ganas umumnya dan tidak menyangat pada massa jinak. Keterlibatan organ sekitarnya atau mediastinum lebih mudah terdeteksi, sebagai keterlibatan tulang sekitarnya, pembesaran kelenjar getah bening hilus, bifukarsio, paratrakhea dan massa bersinggungan dengan dinding pembuluh darah besar thorax (aorta, a.pulmonalis) yang merupakan non operable.









Jenis-Jenis Ca Paru

1. Ca Bronkogenik
Definisi :
Merupakan Tumor ganas Paru yang berasal dari bronchus.
Patofisiologi :
Karsinoma ini berasal dari elemen mukosa bronchus atau dari metaplasianya. Jadi posisinya di sentral, yang merupakan tempat yang paling rentan terhadap paparan iritan yang terhirup.
Karsinoma Bronkogenik yang paling sering adalah tipe epidermoid. Insidensi Ca Bronkogen cenderung meningkat sehubungan dengan meningkatnya polusi udara, dan mental stress. Karsinoma jenis ini dapat mengalami nekrosis dan membentuk kavitasi. Tumor ini dapat menjalar sevara hematogen. Jenis lain adalah tipe adenokarsinoma yang sering ditemukan pada wanita dan letaknya sering di perifer paru, berkembang cepat dan metastasis secara hematogen maupun limfogen. Tipe anaplastik sering ditemukan di sentral dengan pembesaran hilus dan metastase limfogen. Jenis ini jarang nekrosis dan membentuk kavitas.
Gambaran Radiologis :
Pada foto Thorax PA tampak gambaran massa semiopak homogeny, bisa sentral di bronkus primer, bisa perifer dari alveolus, gambaran membulat dengan tipe irregular. Dari massa tersebut terjadi spinasi (pertumbuhan radier ke arah jaringan yang sehat) menyerupai kaki (pseudopodia), sehingga gambaran Ca adalah seperti kepiting. Tumor tersebut dapat bermetastase ke pulmo yang lain sehingga didapatkan lesi satelit di pulmo satunya. Gejala bisa berupa batuk lama tak sembuh-sembuh, dapat disertai darah.
2. Pancoast Tumor
Tumor (massa opak) terletak di sulkus superior pada apeks, terletak di posterior dan os costa mengalami erosi. Juga menimbulkan kelainan simpatis sehingga timbul sindroma Hargae.

3. Tumor Mediastinum:
Ciri khasnya adalah tumor berbentuk bersudut yang homogen di mediastinum anterior. Tumor di mediastinum anterior harus dicurigai gambaran thymoma maligna (mesothelioma yang ganas).

Sebagian besar karsinoma paru awalnya muncul di lateral, tapi sebagian besar penampakan penyebarannya adalah secara sentripental. Lesi-lesi yang tetap berada di perifer biasanya prognosisnya lebih baik. Sebenarnya korelasi antara jenis sel kanker dan prognosis itu tidak begitu bagus, kecuali untuk pernyataan umum bahwa prognosis buruk khusus pada small cell ca dan relative lebih baik pada bronchoalveolar ca.
Sebagian besar kanker paru perifer berbentuk hampir bulat atau oval. Lobulasi, suatu tanda dari pertumbuhan yang tidak normal pada bagian-bagian yang berbeda pada tumor, sering terjadi. Pada keadaan tertentu dapat ditemukan bentuk dumb-bell shape yang merupakan gabungan gambaran dua tumor yang berdekatan. Tumor di apeks paru (Pancoast Tumor, superior sulcus tumor) dapat menyebabkan penebalan pleura apeks, dan ini sangat ganas. Corona Radiata adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan garis-garis yang tampak memancar dari suatu massa sentral, merupakan dugaan kuat akan adanya karsinoma bronchial. Kavitasi sering ditunjukkan oleh karsinoma sel skuamous. Air bronchogram bisa muncul bersamaan dengan karsinoma bronchoalveolar, dan adenokarsinoma. Kalsifikasi malah sangat jarang dapat ditampakkan dengan radiografi konvensional, tapi baru jelas dengan CT-scan.
Pada karsinoma-karsinoma sentral, tanda yang utama adalah kolaps paru, konsolidasi dan adanya pembesaran hilus. Secondary effect dari tumor paru antara lain adalah atelektasis, emfisema kompensatoar (hiperlusensi), dll.




PEMBAHASAN

Pasien pada kasus ini datang dengan keluhan nyeri pada dada sebelah kanan, disertai sesak napas. Nyeri terutama dirasakan setiap kali pasien menarik napas. Keluhan ini dirasakan sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu dan mulai memberat dalam beberapa minggu ini.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan paru-paru simetris, tidak tampak retraksi dan tidak ada jejas. Pada Palpasi dada tidak didapatkan ketinggalan gerak, tetapi Vocal fremitus kiri lebih terasa daripada yang kanan. Pada perkusi, didapatkan sonor pada regio pulmo sinistra dan redup pada regio pulmo dextra. Sedangkan pada auskultasi didapatkan suara dasar Vesikuler menurun pada pulmo dextra dan juga didapatkan, ronkhi kasar pada kedua lapang paru.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, maka dibuat diagnosis kerja yaitu suspek massa pada regio paru dextra, dengan differensial diagnosis massa pada cavum mediastinum. Untuk menegakkan diagnosis pasti maka dilakukan pemeriksaan penunjang lain.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini adalah pemeriksaan darah rutin dan Kimia darah, pemeriksaan foto thorax, USG, dan CT scan Thorax dengan kontras.
Hasil pada pemeriksaan penunjang foto thorax adalah Curiga massa paracardial dextra (pada mediastinum). Hasil USG memberi kesan Curiga massa diatas diafragma ( mediastinum ), sedangkan hasil CT-scan dengan kontras adalah Massa tumor pada mediastinum inferior posterior dx (Cenderung malignancy)
Dari pemeriksaan penunjang yang dilakukan, maka dapat ditegakkan diagnosis pada pasien ini adalh Tumor Mediastinum. Sedangkan untuk memastikan jenis tumor mediastinum adalah dengan pemeriksaan Sitologi dengan bioopsi.

Tumor Mediastinum

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang
Mediastinum adalah suatu bagian penting dari thorax. Mediastinum terletak di antara kavita pleuralis dan mengandung banyak organ penting dan struktur vital. Proes penting yang melibatkan mediastinum mencakup emfisema, infeksi, perdarahan serta banyak jenis kista dan tumor primer. Kelainan sistemik seperti karsinoma metastatic dan banyak penyakit granulomatosa juga bisa terlibat dalam mediastinum. Lesi terutama berasal dari esophagus, trakea, jantung dan pembuluh darah besar biasanya berhubungan dengan susunan organik spesifik yang terlibat daripada mediastinum. (Sabiston, 1994)
Di dalam Mediastinum terdapat banyak macam kelainan kongenital dan pembengkakan. Karena pertumbuhannya yang sering lambat tumor mediastinum biasanya lambat memberikan keluhan mekanik. Keluhan ini kemudian menimbulkan kecurigaan akan malignancy. (Rasyad, 2009)
Dari tumor mediastinal yang memberikan gejala, setengahnya adalah maligna. Sebagian besar tumor yang asimptomatik adalah benigna. (Rasyad,2009)
Diagnosis yang lebih dini dan lebih tepat dari proses mediastinum telah dimungkinkan dengan peningkatan penggunaan rontgen dada, tomografi komputerisasi (CT Scan), teknik sidik radioisotope dan magnetic resonance imaging (MRI), serta telah memperbaiki keberhasilan dalam mengobati lesi mediastinum. Bersama dengan kemajuan dalam teknik diagnostik ini, kemajuan dalam anestesi, kemoterapi, immunoterapi, dan terapi radiasi telah meningkatkan kelangsungan hidup serta memperbaiki kualitas hidup. (Sabiston, 1994)



I.2. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pembagian daerah medistinum, jenis-jenis tumor yang terdapat di dalam mediastinum, gejala klinis, teknik pemeriksaan, differensial diagnosis dan penegakan diagnosis menggunakan berbagai jenis teknik radiologi.


















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. ANATOMI
Mediastinum adalah satu bagian kavitas thorakis yang dibatasi di lateral oleh pleura mediastinalis, di anterior oleh sternum dan di posterior oleh kolumna vertebralis. Mediastinum terbentang dari diafragma di inferior sampai pintu masuk thorax di superior. (Sabiston, 1994)

Mediastinum secara klasik dibagi ke dalam empat bagian. Mediatinum superior dipisahkan dari mediastinum inferior oleh bidang yang terbentang melalui angulus sterni ke ruang intervertrebalis keempat. Kavitas perikardialis membagi lebih lanjut mediastinum inferior menjadi mediastinum anterior, media dan posterior. Penggunaan pembagian ini telah berhasil dalam membedakan lesi di dalam mediastinum, karena lokasi khas banyak neoplasma di dalam mediastinum. (Sabiton,1994)

Secara anatomi, mediastinum superior mengandung tymus, trakea atas, esophagus dan arcus aorta serta cabangnya. Mediastinum anterior berisi aspek inferior tymus maupun jaringan adiposa, limfatik dan areola. Isi mediastinum media mencakup jantung, pericardium, nervus frenikus, bifukartio trachea dan bronchi principalis maupun nodi limfatis trakealis dan bronkialis. Di dalam mediastinum posterior terletak esophagus, nervus vagus, rantai saraf simpatis, duktus torasikus, aorta desendens, system azigos dan hemiazigos serta kelenjar limfe paravertebralis maupun jaringan areola.
Lesi tertentu tak dapat dikenali dengan mudah dengan menggunakan system pembagian ini. Timoma atau tumor teratodermoid timbul dalam aspek anterior mediastinum superior maupun mediastinum anterior. Tumor neurogenik timbul dalam aspek posterior mediastinum superior maupun mediastinum posterior. Sehingga cara lain untuk membagi mediastinum telah diusulkan, yang memberikan tiga pembagian anatomi. Mediastinum posterior didefinisikan kembali sebagai ruangan mediastinum yang terletak posterior terhadap batas posterior pericardium. Bagian anterosuperior mengandung aspek anterior mediastinum superior maupun mediastinum anterior yang telah didefinisikan sebelumnya. (Sabiston,1994)


Pembagian Mediastinum :
Pembagian mediastinum ke dalam rongga-rongga yang berbeda dapat membantu secara praktis proses penegakan diagnosis, sedangkan pendekatan dengan orientasi system mempermudah pemahaman pathogenesis proses patologi di mediastinum. (Aru W. Sudoyo, 2006)
Pertimbangan untuk diagnosis :
- Pada umumnya kelainan yang terjadi di mediastinum adalah jinak dan asimtomatik.
- Pembagian mediastinum ke dalam rongga anterior, superior, medial dan posterior bertujuan memudahkan dalam menegakkan diagnosis.
- Lebih dari 60% lesi pada dewasa ditmukan pada rongga anterior-superior mediastinum, sedangkan pada anak 60% lesi ditemukan di posterior mediastinum.
- Pada 75% dewasa dan 50% anak-anak massa yang terjadi adalah jinak.
- Massa ganas yang paling umum terjadi di rongga anterior-superior adalah timoma, penyakit Hodgin, limfoma non Hodgin, dan tumor germ cell.
- Neurinoma adalah tumor yang paling sering terjadi di rongga posterior dan mudah dikenal dari bentuknya yang klasik seperti dumbbell-shaped contour).


Mass in upper mediastinum

Anterior mediastinum mass


Anterior mediastinum mass


Posterior mediastinal mass


Posterior mediastinal mass



II.2. KISTA DAN TUMOR PRIMER MEDIASTINUM
Banyak jenis jaringan dan susunan organ yang ada di dalam mediastinum menimbulkan sejumlah neoplasma yang berbeda secara histology. Di samping itu, banyak kelenjar limfe yang ada di dalam mediastinum, dan bisa terlibat dalam sejumlah penyakit sistemik, seperti karsinoma metastatic, kelainan granulomatosa, infeksi dan kelainan jaringan ikat. (Sabiston,1994)
Tumor primer dan kista memberikan banyak variasi tanda dan gejala klinis. Riwayat alamiah kista dan tumor mediastinum bervariasi dari pertumbuhan jinak yang lambat dengan gejala minimum sampai neoplasma invasive yang agresif yang bermetastasis luas dan cepat menyebabkan kematian. (Sabiston,1994)
Kemajuan dalam teknik diagnostic dan peningkatan penggunaan rontgenografi thorax yang rutin telah memungkinkan diagnosis dini tumor ini. Karena eksisi bedah telah terbukti berhasil menyembuhkan lesi jinak dan ganas, serta dengan peningkatan penggunaan radiasi dan kemoterapi multiobat yang berhasil dalam terapi sejumlah lesi ganas lain, maka observasi massa mediatinum tanpa diagnosis histologik yang tepat, jarang dapat diterima.
Walaupun massa mediastinum jarang ditemukan dalam praktek rutin, namun peningkatan jelas dalam insidensinya dan kemampuan untuk memberikan terapi efektif menekankan kepentingan pemahaman sifat klinis kista dan tumor primer ini. Seri yang dikumpulkan dari 2399 pasien memperlihatkan insidensi relative timbulnya neoplasma spesifik di dalam mediastinum.
Walaupun timbul perbedaan dalam insidens, dengan memperhatikan lesi spesifik di antara seri, namun jelas bahwa neoplasma tertentu lebih sering didiagnosis dibandingkan yang lain. Di samping itu, kebanyakan neoplasma mediastinum sering timbul pada lokasi khas di dalam mediastinum.
Lesi mediastinum anterosuperior yang paling mungkin adalah neoplasma timus, limfoma atau tumor sel benih. Lesi mediastinum media yang paling sering adalah kista pericardial atau bronkogenik, karsinoma primer, limfoma atau timoma. Tumor neurogenik, kista bronkogenik atau enteric dan lesi mesenkimal merupakan neoplasma tersering yang ditemukan pada mediastinum posterior. (Sabiston, 1994)

II.3. GEJALA
Sebagian besar pasien tumor mediastinum akan memperlihatkan gejala pada waktu presentasi awal. Kebanyakan kelompok melaporkan bahwa antara 56 dan 65 persen pasien menderita gejala pada waktu penyajian, dan penderita dengan lesi ganas jauh lebih mungkin menunjukkan gejala pada waktu presentasi. (Sabiston, 1994)
Tetapi, dengan peningkatan penggunaan rontgenografi dada rutin, sebagian besar massa mediastinum terlihat pada pasien yang asimtomatik. Adanya gejala pada pasien dengan massa mediastinum mempunyai kepentingan prognosis dan menggambarkan lebih tingginya kemungkinan neoplasma ganas. (Sabiston,1994)
Massa mediastinum bisa ditemukan dalam pasien asimtomatik, pada foto thorax rutin atau bisa menyebabkan gejala karena efek mekanik local sekunder terhadap kompresi tumor atau invasi struktur mediastinum. Gejala sistemik bisa nin spesifik atau bisa membentuk kompleks gejala yang sebenarnya patogmonik untuk neoplasma spesifik. (Rasyad, 2009)
Keluhan yang biasanya dirasakan adalah :
- Batuk atau stridor karena tekanan pada trachea atau bronchi utama.
- Gangguan menelan karena kompresi esophagus.
- Vena leher yang mengembang pada sindroma vena cava superior.
- Suara serak karena tekanan pada nerves laryngeus inferior.
- Serangan batuk dan spasme bronchus karena tekanan pada nervus vagus.
Walaupun gejala sistemik yang samar-samar dari anoreksia, penurunan berat badan dan meningkatnya rasa lelah mungkin menjadi gejala yang disajikan oleh pasien dengan massa mediastinum, namun lebih lazim gejala disebabkan oleh kompresi local atau invasi oleh neoplasma dari struktur mediastinum yang berdekatan. (Sabiston,1994)
Nyeri dada timbul sekunder terhadap kompresi atau invasi dinding dada atau nervus interkostalis. Nyeri dada timbul paling sering pada tumor mediastinum anterosuperior. Nyeri dada yang serupa biasanya disebabkan oleh kompresi atau invasi dinding dada posterior dan nervus interkostalis. Kompresi batang trakhebronkhus biasanya memberikan gejala seperti dispneu, batuk, pneumonitis berulang atau gejala yang agak jarang yaitu stridor.
Keterlibatan esophagus bisa menyebabkan disfagia atau gejala obstruksi. Keterlibatan nervus laringeus rekuren, rantai simpatis atau plekus brakhialis masing-masing menimbulkan paralisis plika vokalis, sindrom Horner dan sindrom Pancoast. Tumor mediastinum yang meyebabkan gejala ini paling sering berlokalisasi pada mediastinum superior. Keterlibatan nervus frenikus bisa menyebabkan paralisis diafragma. Harus ditekankan bahwa walaupun lesi ganas lebih sering terlibat dalam menyebabkan gejala yang berhubungan dengan keterlibatan local, namun tumor jinak bisa juga menyebabkan simtomatologi serupa. (Sabiston,1994)

II.4. DIAGNOSIS
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis pasien dan evaluasi cermat gejala yang diderita pasien sering akan membantu dalam melokalisasi tumor dan bisa menggambarkan kemungkinan diagnosis histology. Pemeriksaan fisik pada pasien dengan tumor dan kista mediastinum sering menunjukkan gambaran positif. Tetapi jarang didapatkan diagnosis tepat dari informasi anamnesis atau pemeriksaan fisik saja. (Sabsiton,1994)

Rontgenografi
Investigasi suatu massa di mediastinum harus dimulai dengan foto dada anterior-superior, lateral, oblik, esofagogram, dan terakhir tomogram bila perlu. Penentuan lokasi yang tepat amat penting untuk langkah diagnostic lebih lanjut. CT scan thorax dengan kontras atau angiografi sirkulasi pulmonum/aorta mungkin pula diperlukan untuk membedakan apakah lesi berasal dari vascular-bukan vascular. Hal ini perlu menjadi pertimbangan bila bioopsi akan dilakukan, selain itu CT scan juga berguna untuk menentukan apakah lesi tersebut bersifat kistik atau tidak. Pada langkah selanjutnya untuk membedakan apakah massa tersebut adalah tumor metastasis, limfoma atau tuberculosis / sarkoidosis maka mediastinoskopi dan biopsy perlu dilakukan. (Aru W. Sudoyo, 2006)

Dasar dari evaluasi diagnostic adalah pemeriksaan rontgenografi. Foto thorax lateral dan posteroanterior standar bermanfaat dalam melokalisir massa di dalam mediastinum. Neoplasma mediastinum dapat diramalkan timbul pada bagian tertentu mediastinum. Foto polos bisa mengenal densitas relative massa ini, apakah padat atau kistik, dan ada atau tidaknya kalsifikasi.

gambaran massa di mediatinum anterior


gambaran massa di mediatinum anterior
Ultrasonografi bermanfaat dalam menggambarkan struktur kista dan lokasinya di dalam mediastinum. Fluoroskopi dan barium enema bisa membantu lebih lanjut dalam menggambarkan bentuk massa dan hubungannya dengan struktur mediastinum lain, terutama esophagus dan pembuluh darah besar.

USG Germ Cell Mediastinum
Kemajuan dalam teknologi nuklir telah bermanfaat dalam mendiagnosis sejumlah tumor. Sidik yodium radioiotop bermanfaat dalam membedakan struma intratoraks dari lesi mediatinum superior lain. Sidik gallium dan teknesium sangat memperbaiki kemampuan mendiagnosis dan melokalisir adenoma parathyroid. Belakangan ini kemajuan dalam radiofarmakologi telah membawa ke diagnosis tepat .
Tomografi Komputerisasi
Kemajuan terbesar dalam diagnosis dan penggambaran massa dalam mediatinum pada tahun belakangan ini adalah penggunaan sidik CT untuk diagnosis klinis. Dengan memberikan gambaran anatomi potongan melintang yang memuaskan bagi mediastinum, CT mampu memisahkan massa mediastinum dari struktur mediastinum lainnya. Terutama dengan penggunaan materi kontras intravena untuk membantu menggambarkan struktur vascular, sidik CT mampu membedakan lesi asal vascular dari neoplasma mediastinum. (Sabiston,1994)




Sebelumnya, pemeriksaan angiografi sering diperlukan untuk membedakan massa mediastinum dari berbagai proses pada jantung dan aorta seperti aneurisma thorax dan suni aneurisma Valsava. Dengan perbaikan resolusi belakangan ini, CT telah menjadi alat diagnostic yang jauh lebih sensitive dibandingkan dengan teknik radiografi rutin. (Sabiston,1994)

CT bermanfaat dalam diagnosis Kista bronkogenik pada bayi dengan infeksi berulang dan timoma dalam pasien myasthenia gravis, kasus yang foto polosnya sering gagal mendeteksi kelainan apapun. Tomografi komputerisasi juga memberikan banyak informasi tentang sifat invasi relative tumor mediastinum. (Aru W. Sudoyo, 2006)
Differensiasi antara kompresi dan invasi seperti dimanifestasikan oleh robeknya bidang lemak mediastinum dapat dibuat dengan pemeriksaan cermat. Tambahan lagi, dalam laporan belakangan ini, diagnosis prabedah pada sejumlah lesi yang mencakup kista pericardial, adenoma paratiroid, kista enteric dan tumor telah dibuat dengan CT karena gambarannya yang khas. (Aru W. Sudoyo, 2006)
Magnetic Resonance Imaging
Magnetic Resonance Imaging (MRI) mempunyai potensi yang memungkinkan diferensiasi struktur vascular dari massa mediastinum tanpa penggunaan materi kontras atau radiasi. Di masa yang akan datang, teknik ini bisa memberikan informasi unggul tentang ada atau tidaknya keganasan di dalam kelenjar limfe dan massa tumor. (Sabiston,1994)
Biopsy
Berbagai teknik invasive untuk mendapatkan diagnosis jaringan tersedia saat ini. Perbaikan jelas dalam teknik sitologi telah memungkinkan penggunaan biopsy aspirasi jarum halus untuk mendiagnosis tiga perempat pasien lesi mediastinum. Teknik ini sangat bermanfaat dalam mendiagnosis penyakit metastatic pada pasien dengan keganasan primer yang ditemukan di manapun. Kegunaan teknik ini dalam mendiagnosis tumor primer mediastinum tetap akan ditegaskan. (Sabiston,1994)

III.5. DIAGNOSIS BANDING
Tumor Mediastinum biasanya menunjukkan preferensi untuk lokalisasi tertentu. Yang merupakan petunjuk untuk diagnosis differensial. Tetapi, juga terdapat perkecualian dan tumor besar dapat meluas jauh di luar daerah asalnya. (Aru W. Sudoyo, 2006)
Pada diagnosis differensial tumor mediastinum di samping tumor primer atau kista juga harus dipertimbangkan proses patologik sekunder. Dalam hal ini penting apakah penderita pada umur anak atau orang dewasa. Presentase kelainan maligna pada anak lebih tinggi. Pada orang dewasa, tumor yang sering terdapat di mediastinum adalah tumor neurogen, kista (bronkhogen, pericardial atau enterogen), thymoma dan limfoma. Dalam golongan umur ini harus dikesampingkan kelainan yang berkesan tumor seperti struma, aneurisma, proses inflamasi atau hernia. (Aru W. Sudoyo, 2006)
Sejumlah lesi intrathorax dan ekstrathorax bisa menyerupai kista dan tumor primer mediastinum. Kelainan kardiovaskuler seperti aneurisma pembeluh darah besar atau jantung dan pola vascular abnormal yang timbul dalam penyakit congenital bisa tampak sebagai massa mediastinum pada foto thorax. (Sabiston,1994)
Kelainan kolumna vertrebalis, seperti meningokel harus dibedakan dari massa mediastinum posterior. Lesi seperti akalasia, divertikulum esophagus, herniasi diafragma, koarktasio aorta, hernia hiatus, herniasi lemak peritoneum dan mediastinits bisa juga meniru gambaran kista dan tumor primer. Melalui penggunaan CT dan myelografi maupun perangkat diagnotik lain, kebanyakan lesi ini harus dibedakan dari massa primer mediastinum sebelum interbensi bedah.(Sabiston,1994)
III.6. JENIS-JENIS TUMOR MEDIASTINUM
Thymoma
Thymoma adalah tumor yang berasal dari epitel thymus. Ini adalah tumor yang banyak terdapat dalam mediastinum bagian depan atas. Dalam golongan umur 50 tahun, tumor ini terdapat dengan frekuensi yang meningkat. Tidak terdapat preferensi jenis kelamin, suku bangsa atau geografi. Gambaran histologiknya dapat sangat bervariasi dan dapat terjadi komponen limfositik atau tidak. Malignitas ditentukan oleh pertumbuhan infiltrate di dalam oragn-organ sekelilingnya dan tidak dalam b entuk histologiknya. Pada 50% kasus terdapat keluhan lokal. Thymoma juga dapat berhubungan dengan myasthenia gravis, pure red cell aplasia dan hipogamaglobulinemia. Bagian terbesar Thymoma mempunyai perjalanan klinis benigna. Penentuan ada atau tidak adanya penembusan kapsul mempunyai kepentingan prognostic. Metastase jarak jauh jarang terjadi. Jika mungkin dikerjakan terapi bedah. (Aru W. Sudoyo, 2006)

CT scan Timoma

Thymus terdiri atas lobus kanan dan lobus kiri dan terletak di bagian depan mediastinum atas. Pada waktu kelahiran, thymus ini relative besar dan beratnya kira-kira 11 gram. Pada waktu pubertas beratnya kira-kira 35 gram, sesudah itu terjadi involusi. Kalau ini terjadi terlalu lama, kita katakan adanya thymus persisten. (Aru W. Sudoyo, 2006)
Hiperplasi thymus didefinisikan sebagai pertambahan besar dan beratnya tanpa perubahan histologik yang jelas. Tetapi, diketahui bahwa berat thymus untuk tiap golongan umur dapat sangat bervariasi. Pada gejala kompresi mungkin diperlukan tindakan pembedahan. Pada hiperplasi thymus yang terdapat pada myasthenia gravis gambarannya ditentukan oleh perubahan histologik dalam arti folikel limfe dengan centrum germinativum. Kista thymus dapat juga mempunyai ukuran yang besar dan layak untuk terapi pembedahan. (Aru W. Sudoyo, 2006)

Gambaran timoma
Gambaran rontgenografi berkisar dari lesi kecil berbatas tegas sampai densitas berlobulasi besar yang bersatu dengan struktur mediastinum yang berdekatan. Timoma biasanya simptomatik pada waktu diagnosis. Seperti pada massa mediastinum lain, timoma bisa timbul dengan gejala yang berhubungan dengan efek massa local, yang mencakup nyeri dada, dispneu,hemoptisis, batuk dan gejala ya ng berhubungan dengan obstruksi vena cava superior.

Tumor sel benih
Kelainan yang asalnya congenital ini pada usia dewasa bermanifestasi sebagai tumor sungguh. Tumor ini mengandung berbagai macam jaringan yang asing untuk organ yang mereka tumbuh di dalamnya.
Tumor teratoid dapat berlokalisasi di berbagai tempat, tetapi mediastinum depan merupakan tempat predileksi terpenting sesudah gonade. Tumor ini member simtom karena kompresi atau invasi ke dalam organ sekelilingnya. Produksi hormone sel-sel tumor ini (insulin, HCG, androgen-androgen) dapat menjelaskan gejala tertentu.
Secara Rontgenologi biasanya terdapat bayangan homogeny dengan batas-batas yang jelas. Kadang-kadang dapat terlihat dengan endapan kalsium dan di dalam tumor kadang-kadang bisa dilihat gigi-gigi. Kenaikan alfa-1-feto-protein dan HCG di dalam serum dapat memperkuat pertimbangan diagnostic. (Aru W. Sudoyo, 2006)
Teratoma
Teratoma merupakan neoplasma yang terdiri dari beberapa unsur jaringan yang asing pada daerah dimana tumor tersebut muncul. Teratoma paling sering ditemukan pada mediatinum anterior. Teratoma yang histologik benigna mengandung terutama derivate ectoderm (kulit) dan entoderm (usus).
Pada teratoma maligna dan tumor sel benih seminoma, tumor teratokarsinoma dan karsinoma embrional atau kombinasi dari tumor itu menduduki tempat yang terpenting. Penderita dengan kelainan ini adalah yang pertama-tama perlu mendapat perhatian untuk penanganan dan pembedahan.
Mengenai teratoma benigna, dahulu disebut kista dermoid, prognosisnya cukup baik. Pada teratoma maligna, tergantung pada hasil terapi pembedahan radikal dan tipe histologiknya, tapi ini harus diikuti dengan radioterapi atau kemoterapi. (Aru W. Sudoyo, 2006)


Teratoma mediastinal


Mediastinal Teratoma
Diagnosis tumor ini bisa dibuat berdasarkan rontgenografi dada rutin dengan menemukan gigi yang sudah sempurna bentuknya. Massa lemaa k dominan dengan unsure dependen padat yang mengandung kalsifikasi globular, tulang atau gigi dan protuberansia padat yang meluas ke dalam rongga kistik, akan ditemukan dengan sidik CT. walaupun ada gambaran khas, namun perbedaan antara teratoma jinak dan ganas tergantung pada pemeriksaan histology. (Sabiston,1994)
Tumor Neurogen
Tumor Neurogen merupakan tumor mediastinal yang terbanyak terdapat, manifestasinya hampir selalu sebagai tumor bulat atau oval, berbatas licin, terletak jaug di mediastinum belakang. Tumor ini dapat berasal dari saraf intercostals, ganglia simpatis, dan dari sel-sel yang mempunyai cirri kemoreseptor. Tumor ini dapat terjadi pada semua umur, tetapi relative frekuen pada umur anak. (Aru W. Sudoyo, 2006)
Banyak Tumor Nerogenik menimbulkan beberapa gejala dan ditemukan pada foto thorax rutin. Gejala biasanya merupakan akibat dari penekanan pada struktur yang berdekatan. Nyeri dada atau punggung biasanya akibat kompresi atau invasi tumor pada nervus interkostalis atau erosi tulang yang berdekatan. Batuk dan dispneu merupakan gejala yang berhubungan dengan kompresi batang trakeobronchus. Sewaktu tumor tumbuh lebih besar di dalam mediastinum posterosuperior, maka tumor ini bisa menyebabkan sindrom pancoast atau Horner karena kompresi peleksus brakhialis atau rantai simpatis servikalis.

Dapat dibedakan menjadi tipe-tipe berikut :
Neurilemoma, (kadang-kadang varian maligna) dan Neurofibroma (kadang-kadang varian maligna) begitu juga tumor-tumor dari selubung Schwann dan atau perineurium, biasanya berasal dari saraf intercostals atau radiks spinal, kadang-kadang dari nervus vagus. Tumor ini sifatnya benigna tapi sejumlah presentase kecil lama-kelamaan dapat mengalami degenerasi maligna. Pada pertumbuhan melalui foramen intervertebral terjadi suatu tumor dengan pinggang sempit dengan bahaya kompresi medulla spinalis. Neurofibroma dapat merupakan bagian dari suatu neurofibromatosis generalisata dari Von Recklinghausen. (Aru W. Sudoyo, 2006)


Mediastinal Neurofibroma
Tumor ini berkapsul dan tampak sebagai massa homogrn padat, berbatas tegas dalam daerah paravertrebalis mediastinum pada rontgenografi dada. (Sabiston,1994)
Ganglioma, merupakan tumor jinak yang berasal dari rantai simpatis, dan terdiri dari sel ganglion dan unsure saraf. Secara makroskopik, lesi ini berkapul dengan permukaan luar yang halus. Pada penampang melintang, tumor ini sering mempunyai daerah degenerasi kistik. Secara klaik, ganglioma mempunyai gambaran memanjang atau segitiga pada foto thorax dengan dasar yang lebih lebar dan meruncing kearah mediastinum. Tumor ini berbatas buruk pada proyeksi lateral serta sering mempunyai batas inferior dan superior yang kabur. (Sabiston,1994).

Ganglioma Mediastinum
Neuroblastoma, merupakan tumor yang berdifferensiasi buruk dari susunan saraf simpatis dan dalam presentase kecil juga terdapat di mediastinum. Pada saat penetapan diagnosis seringkali sudah ada metastasis.
Tergantung penemuan pada operasi dan hasil pemeriksaan histologik kadang-kadang diperlukan terapi tambahan. Jika tumor ternyata benigna, penderita hanya di follow up saja. Pada pengambilan tak sempurna kelainan benigna, baik radioterapi maupun kemoterapi tidak ada artinya. Tetapi jika tumornya ternyata maligna dan diangkat inkomplit, maka perlu dipertimbangkan radioterapi atau kemoterapi. Neuroblastoma harus ditangani, tergantung pada kemungkinan apakah pembedahan radikal dapat dilaksanakan. Jika tidak, maka pertama dipertimbangkan terapi sitostatik.
Kista Pleuroperikardial
Ini adalah kista dengan dinding yang tipis, terisi cairan jernih yang selalu dapat menempel pada perikard dan kadang-kadang berada dalam hubungan terbuka dengan perikard itu. Yang terbanyak terdapat di ventral, di sudut diafragma jantung. Kista ini juga dikenal sebagai kista coelom. Kista pleuroperikardial adalah kelainan congenital, tetapi baru manifest pada usia dewasa. Sampai desenium ke 5 atau 6, ukuran tumor biasanya secara lambat bertambah, tetapi jarang sampai lebih dari 10 cm. pada fluoroskopi, kista-kista ini sering terlihat sebagai rongga-rongga dengan dinding yang tipis dengan perubahan bentuk pada pernapasan dalam. Kista-kista coelom di sebelah kanan harus differensiasi dengan lemak parakardial dan dengan hernia diafragmatika melalui foramen Morgagni. Kista-kista ini sering terdapt, meskipun tentang hal ini tidak ada data yang jelas. Kista ini tidak menimbulkan keluhan, infeksi sangat jarang dan malignitasnya tidak diketahui. Karena itu ekstirpasi hanya diperlukan pada keraguan yang serius mengenai diagnosisnya atau pada ukuran kista yang sangat besar.
Kista Bronkogen
Kista Bronkogen kebanyakan mempunyai dinding cukup tipis, yang terdiri dari jaringan ikat, jaringan otot dan kadang-kadang tulang rawan. Kista ini dilapisi epitel rambut getar atau planoselular dan terisi lendir putih susu atau jernih. Kista bronkus terletak menempel pada trakea atau bronkus utama, kebanyakan dorsal dan selalu dekat dengan bifurkatio. Kista ini dapat tetap asimptomatik tetapi dapat juga menimbulkan keluhan karena kompresi trakea, bronki utama atau esophagus. Kecuali itu terdapat bahaya infeksi dan perforasi sehingga kalau ditemukan diperlukan pengangkatan dengan pembedahan.
Kista Enterogen
Ini adalah segmen-segmen terpotong dari saluran lambung-usus, berbentuk bulat seperti pipa, dilapisi selaput lendir yang biasanya mengingatkan kepada lambung atau esophagus. Kista ini juga terletak di mediastinum belakang dan dapat melekat atau tidak kepada esophagus, dengan kadang-kadang bhkan ada hubungan terbuka yang kecil. Kista enterogen biasanya secara dini memberi keluhan dan dengan itu sudah mungkin ditemukan pada anak kecil meskipun kadang-kadang juga ditemukan pada orang dewasa yang tidak menunjukan keluhan. Beberapa kista memproduksi cairan lambung yang dapat menyebabkan ulserasi dan perforasi. Kista enterogen kalau ditemukan harus diekstirpasi. (Aru W. Sudoyo, 2006)
CT scan dan myelografi bermanfaat dalam menggambarkan deformita vertebra, kolumna spinalis serta kemungkinan hubungan antara ruang dura dan kista. (Sabiston,1994)


II.7. PENGOBATAN
Secara umum, tumor ganas mediastinum seperti limfoma, tumor germ sel, atau timoma berespon baik terhadap terapi yang dilakukan secara agresif yang mencakup perawatan, radiasi dan kemoterapi. Tumor jinak terkadang lebih mudah diatur penanganannya jika pasien asimptomatik. Pasien dengan massa di mediastinum beresiko untuk terjadinya kolaps / obstruksi saluran napas atau gangguan hemodinamik jika menjalani anestesi umum. (Aru W. Sudoyo, 2006)
II.8. PROGNOSIS
Prognosis Tumor Mediastinum jinak cukup baik, terutama jika tanpa gejala. Berbeda variai prognosisnya pada pasien dengan tumor mediastinum ganas, dimana hasil diagnostic spesifik, derajat keparahan penyakit, dan keadaan spesifik pasien yang lain (komorbid) akan mempengaruhi. Kebanyakan tumor mediastinum ganas berespon baik terhadap terapi konvensional. Besarnya variasi individual penyakit mengakibatkan terjadinya berbagai kelainan mediastinum beragam. (Aru W. Sudoyo, 2006)

II.9. KOMPLIKASI
Komplikasi dari kelainan mediastinum mereflekikan patologi primer yang utama dan hubungan antara struktur anatomic dalam mediastinum. Tumor atau infeksi dalam mediastinum dapat menyebabkan timbulnya komplikasi melalui : perluasan dan penyebaran secara langsung, dengan melibatkan struktur-struktur (sel-sel) bersebelahan, dengan tekanan sel bersebelahan, dengan menyebabkan sindrom paraneoplastik, atau melalui metastatic di tempat lain. Empat komplikasi terberat dari penyakit mediastinum adalah:
1. Obstruksi trachea
2. Sindrom Vena Cava Superior
3. Invasi vascular dan catastrophic hemorrhage, dan
4. Rupture esofagus

BAB III
KESIMPULAN

Mediastinum adalah suatu bagian penting dari thorax. Mediastinum terletak di antara kavita pleuralis dan mengandung banyak organ penting dan struktur vital. Proes penting yang melibatkan mediastinum mencakup emfisema, infeksi, perdarahan serta banyak jenis kista dan tumor primer.
Banyak jenis jaringan dan susunan organ yang ada di dalam mediastinum menimbulkan sejumlah neoplasma yang berbeda secara histology. Di samping itu, banyak kelenjar limfe yang ada di dalam mediastinum, dan bisa terlibat dalam sejumlah penyakit sistemik, seperti karsinoma metastatic, kelainan granulomatosa, infeksi dan kelainan jaringan ikat.
Kemajuan dalam teknik diagnostic dan peningkatan penggunaan rontgenografi thorax yang rutin telah memungkinkan diagnosis dini tumor ini. Karena eksisi bedah telah terbukti berhasil menyembuhkan lesi jinak dan ganas, serta dengan peningkatan penggunaan radiasi dan kemoterapi multiobat yang berhasil dalam terapi sejumlah lesi ganas lain, maka observasi massa mediatinum tanpa diagnosis histologik yang tepat, jarang dapat diterima.
Dasar dari evaluasi diagnostic adalah pemeriksaan rontgenografi. Foto thorax lateral dan posteroanterior standar bermanfaat dalam melokalisir massa di dalam mediastinum. Neoplasma mediastinum dapat diramalkan timbul pada bagian tertentu mediastinum. Foto polos bisa mengenal densitas relative massa ini, apakah padat atau kistik, dan ada atau tidaknya kalsifikasi.
Ultrasonografi bermanfaat dalam menggambarkan struktur kista dan lokasinya di dalam mediastinum. Fluoroskopi dan barium enema bisa membantu lebih lanjut dalam menggambarkan bentuk massa dan hubungannya dengan struktur mediastinum lain, terutama esophagus dan pembuluh darah besar.
Kemajuan terbesar dalam diagnosis dan penggambaran massa dalam mediatinum pada tahun belakangan ini adalah penggunaan sidik CT untuk diagnosis klinis. Dengan memberikan gambaran anatomi potongan melintang yang memuaskan bagi mediastinum, CT mampu memisahkan massa mediastinum dari struktur mediastinum lainnya. Terutama dengan penggunaan materi kontras intravena untuk membantu menggambarkan struktur vascular, sidik CT mampu membedakan lesi asal vascular dari neoplasma mediastinum.



















DAFTAR PUSTAKA

1. Aru W, Sudoyo, et al, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Penerbit Buku Kedokteran IPD FK UI.
2. Carter, M. A.,, Gout, dalam Sylvia, A. P. And Lorraine, M. W. (Eds), 2001, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi IV, Buku II, 1242-1246, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
3. Murray, R. K., Granner, D. K., Mayer, P. A., Rodwell, V. M., 1997, Biokimia Harper, alih bahasa oleh Andry Hartono, Edisi 24, 366-391, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
4. Sabiston, David C,. 1994, Buku Ajar Bedah, alih bahasa Petrus Adriyanto, Edisi I, Jilid II, 704-724, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
5. www.emedicine.com

Artritis

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pelayanan kesehatan diseluruh dunia akan menghadapi tekanan biaya yang berat pada 10-20 tahun mendatang, karena peningkatan yang luar biasa dari orang yang terkena penyakit musculoskeletal. Organisasi kesehatan sedunia (WHO) menyatakan bahwa beberapa juta orang telah menderita karena menderita penyakit sendi dan tulang, dan angka tersebut diperhitungkan akan meningkat tajam karena banyaknya orang yang berumur lebih dari 50 tahun pada tahun 2020. Sekretaris jenderal PBB Kofi Annan dan WHO pada 30 november 1999 telah mencanangkan suatu ajakan 10 tahun baru yang disebut Bone and Joint Decade. Ajakan tersebut menghimbau pemerintah di seluruh dunia untuk segera mengambil langkah-langkah dan berkejasama dengan organisasi-organisasi untuk penyakit musculoskeletal, profesi kesehatan di tingkat nasional maupun internasional untuk pencegahan dan penatalaksanaan penyakit musculoskeletal. Di Indonesia pencanangan Bone and Joint Decade dilakukan pada tanggal 7 oktober tahun 2000 oleh menteri kesehatan dan kesejahteraan social Republik Indonesia dr.achmad Sujudi, bersamaan dengan temu ilmiah reumatologi ke III di Jakarta.

Banyak kemajuan reumatologi di dunia termasuk di Indonesia, di samping itu juga banyak permasalahan yang perlu dipecahkan berkaitan dengan pemahaman penyakit reumatik (baik oleh masyarakat umum maupun kalangan medis), diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit, pencegahan kecacatan dan rehabilitasi akibat penyakit reumatik serta pendidikan di bidang reumatologi.

B. Tujuan Penulisan

  1. Mengetahui gejala-gejala klinis penyakit arthitis sehingga dapat segera ditegakkan diagnosis secara tepat.

2. Mengetahui gambaran radiologis dari penyakit arthitis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi

Arthritis adalah salah satu penyakit reumatologi nyeri somatic dan kekauan sendi yang dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, genetik, factor lingkungan, dan gaya hidup (Sudoyo, 2006)

B. Jenis-Jenis Arthritis

Terdapat tiga macam Arthitis, yaitu Osteoarthitis, Arthritis Rheumatoid dan Gout Arthritis.

B.1. Osteoarthitis (OA)

Osteoarthritis adalah sekelompok penyakit yang overlap dengan etiologi yang mungkin berbeda-beda, namun mengakibatkan kelainan biologis, morfologis dan gambaran klinis yang sama. Proses penyakitnya tidak hanya mengenai rawan sendi namun juga mengenai seluruh sendi, termasuk tulang subkondral, ligamentum, kapsul dan jaringan synovial serta jaringan ikat periartikular. Osteoarthitis merupakan penyakit sendi yang paling banyak di jumpai dan prevalensinya semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Masalah osteoarthritis di Indonesia tampaknya lebih besar dibandingkan Negara barat kalau melihat tingginya prevalensi penyakit osteoarthritis di malang. Lebih dari 85% pasien osteoarthritis tersebut terganggu aktivitasnya terutama untuk kegiatan jongkok, naik tangga dan berjalan. Arti dari jongkok dan menekuk lutut sangat penting bagi pasien osteoarthritis di Indonesia oleh karena banyak kegiatan sehari-hari yang tergantug kegiatan ini khususnya sholat dan buang air besar. Kerugian tersebut sulit di ukur dengan materi (Sudoyo, 2006)

Pemahaman yang lebih baik mengenai pathogenesis osteoarthritis (OA) akhir-akhir ini diperoleh antara lain berkat meningkatnya pengetahuan mengenai biokimia dan biologi molekuler rawan sendi. Dengan demikian diharapkan kita dapat mengelola pasien OA dengan lebih tepat dan lebih aman.

Perlu dipahami bahwa penyebab nyeri yang terjadi pada OA bersifat multifaktorial. Nyeri dapat bersumber dari regangan serabut syaraf periosteum, hipertensi intra-osseous, regangan kapsul sendi, hipertensi intra-artikular, regangan ligament, mikrofraktur tulang subkondral, entesopati, bursitis, dan spasme otot. Dengan demikian penting dipahami, bahwa walaupun belum ada obat yang dapat menyembuhkan OA saat ini, namun terdapat berbagai cara untuk mengurangi nyeri dengan memperhatikan kemungkinan sumber nyerinya, memperbaiki mobilitas dan meningkatkan kualitas hidup (Sudoyo, 2006)

B.2. Reumatoid Arthitis (RA)

Rheumatoid arthitis merupakan suatu penyakit inflamasi sistematik yang walaupun manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progresif, akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh. Pada umumnya selain gejala konstitusional berupa kelemahan umum, cepat lelah atau gangguan organ non artikular lainnya (Sudoyo, 2006)

RA merupakan suatu penyakit inflamasi yang menyebabkan rasa sakit, pembengkakan, kekakuan dan hilangnya fungsi pada sendi. Yang mempunyai beberapa keistimewaan yang membuat RA berbeda dari jenis lainnya dari artritis. Contohnya, RA secara umum terjadi pada pola yang simetris, artinya jika satu lutut atau tangan yang dilibatkan, yang sisi lain juga terkena penyakit ini sering mempengaruhi sendi-sendi pergelangan tangan (wrist joint) dan sendi-sendi jari yang terdekat dari tangan. Penyakit ini juga mempengaruhi bagian-bagian tubuh lain disamping sendi-sendi. Dan RA mungkin juga sebagai manifestasi dari penyakit sistemik (Sudoyo, 2006)

RA adalah suatu penyakit radang sistemik yang mengakibatkan kerusakan tulang dan tulang rawan. RA ditandai oleh suatu distribusi dan pola yang khas dari keterlibatan cairan sendi dan menyebabkan kelainan bentuk dan hilangnya fungsi pada sendi.

Etiologi RA

Ilmuwan tetap tidak mengetahui persisnya apa penyebab sistem imun untuk berbalik melawan dirinya sendiri dalam RA, tetapi penelitian di tahun terakhir telah mulai untuk mengumpulkan faktor-faktor yang terlibat.

Faktor-faktor yang terlibat yaitu: 1) Faktor genetik: Ilmuwan sudah menemukan gen tertentu yang berperan dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA–DR4 dengan RA seropositif. Pengemban HLA–DR4 memiliki resiko relatif 4 : 1 untuk menderita penyakit ini.; 2) Faktor lingkungan: sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab RA. Dugaan faktor infeksi sebagai penyebab RA juga timbul karena umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Walau hingga kini belum berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan sinovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya RA. Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab RA antara lain adalah bakteri, mikroplasma atau virus. Ini tidak berarti bahwa RA adalah penyakit menular.; 3) faktor-faktor yang lain; kecenderungan wanita untuk menderita RA dan sering dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian karena pemberian hormon estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab penyakit. Faktor lain yang diduga etiologi RA adalah Heat Shock protein (HSP) adalah kelompok protein berukuran sedang yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respon terhadap stress. Walaupun telah diketahui ada hubungan antara HSP dan sel T pada pasien RA, mekanisme hubungan ini belum diketahui dengan jelas (Sudoyo, 2006)

Klasifikasi dan Kriteria Diagnostik RA

Kriteria diagnostik RA yang dibentuk oleh The American Rheumatism Association (ARA) pada tahun 1958 telah digunakan selama hampir 30 tahun, akan tetapi dengan berkembangnya pengetahuan dalam bidang RA, ternyata diketahui bahwa dengan menggunakan kriteria tersebut banyak dijumpai kesalahan diagnostik. Banyak kasus RA yang luput dari diagnosis atau sebaliknya, banyak jenis artritis yang didiagnosis sebagai RA (Sudoyo, 2006)

Untuk itu pada tahun 1987 ARA telah mempublikasikan susunan kriteria klasifikasi RA dalam format tradisional yang baru. Kriterianya : 1) Kaku pagi hari; 2) Artritis pada 3 daerah yaitu pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersamaan yang diobservasi oleh seorang dokter. Dalam kriteria ini terdapat 14 persendiaan yang memenuhi kriteria yaitu PIP (Proximal Interphalangeal), MCP (Metacarpophalangeal) kiri dan kanan; 3) Artritis pada persendian tangan (sekurang-kurangnya); 4) Artritis simetris; 5) Nodul reumatoid: nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor; 6) Faktor reumatoid serum: terdapatnya titer abnormal faktor reumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif <5%>

Untuk keperluan klasifikasi, seseorang dikatakan menderita RA jika ia sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria diatas.

Manifestasi Klinis RA

Manifestasi artikular RA dapat dibagi menjadi 2 kategori: 1) Gejala inflamasi akibat aktivitas sinovitis yang bersifat reversibel; 2) Gejala akibat kerusakan struktur persendian yang bersifat ireversibel. Sangat penting untuk membedakan kedua hal ini karena penatalaksanaan klinis kedua kelainan tersebut sangat berbeda. Sinovitis merupakan kelainan yang umumnya bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan pengobatan medikamentosa atau pengobatan non surgical lainnya. Kerusakan struktur persendiaan akibat kerusakan rawan sendi atau erosi tulang periartikular merupakan proses yang tidak dapat diperbaiki lagi dan memerlukan modifikasi mekanik atau pembedahan rekonstruktif (Sudoyo, 2006)

Manifestasi ekstraartikular yaitu: 1) Kulit, walaupun jarang dijumpai di Indonesia, di negara Barat nodul reumatoid merupakan suatu gejala RA yang patognomonik. Nodul rheumatoid umumnya timbul pada fase aktif dan terbentuk di bawah kulit terutama pada lokasi yang banyak menerima tekanan seperti olekranon, permukaan ekstensor lengan dan tendon Achilles. Vaskulitis seringkali bermanifestasi sebagai lesi purpura atau ekimosis pada kulit dan nekrosis kuku; 2) Mata, kelainan mata yang sering dijumpai pada RA adalah kerato-konjungtivitis sicca yang merupakan manifestasi sindrom Sjogren. Pada keadaan dini gejala ini seringkali tidak dirasakan oleh pasien. Untuk itu ada setiap pasien RA kemungkinan terdapatnya kelainan mata harus selalu dicari secara aktif agar kerusakan mata yang berat dapat dicegah; 3) Sistem Respiratorik, peradangan pada sendi krikoaritenoid tidak jarang dijumpai pada RA. Gejala keterlibatan saluran nafas atas ini dapat berupa nyeri tenggorokan, nyeri menelan atau disfonia yang umumnya terasa lebih berat pada pagi hari. Walaupun jarang menunjukkan gejala klinis yang berat, paru merupakan organ yang sering terlibat pada RA. Umumnya keterlibatan paru yang ringan hanya dapat diketahui dari hasil autopsi berupa pneumonitis interstisial. Akan tetapi pada RA yang lanjut dapat pula dijumpai efusi pleura dan fibrosis paru yang luas; 4) Sistem Kardiovaskuler, lesi inflamatif yang menyerupai nodul rheumatoid dapat dijumpai pada miokardium dan katup jantung. Lesi ini dapat menyebabkan disfungsi katup, fenomen embolisasi, gangguan konduksi, aoritis dan kardiomiopati; 5) Sistem Gastrointestinal, umumnya pada RA tidak pernah dijumpai kelainan traktus gastrointestinalis yang spesifik selain daripada xerostomia yang berhubungan dengan sindrom Sjogren atau komplikasi gastrointestinal akibat vaskulitis; 6) Ginjal, berbeda dengan lupus eritematosus sistemik, pada RA jarang sekali dijumpai kelainan glomerular. Jika pada pasien RA dijumpai proteinuria, umumnya hal tersebut lebih sering disebabkan karena efek samping pengobatan seperti garam emas dan d-penisilamin atau terjadi sekunder akibat amiloidosis; 7) Sistem syaraf, komnplikasi neurologis yang sering dijumpai pada RA umumnya tidak memberikan gambaran yang jelas sehingga sukar untuk membedakan komplikasi neurologis akibat lesi artikular dari lesi neuropatik. Patogenesis komplikasi neurologis pada RA umumnya berhubungan dengan mielopati akibat instabilitas vertebra, servikal, neuropati jepitan atau neuropati iskemik akibat vaskulitis; 8) Sistem hematologis, belum ditemukan kelainan pada sistem ini (Sudoyo, 2006)

B.3. Gout Arthitis

Gout arthritis adalah sekelompok penyakit yang terjadi akibat deposit Kristal monosodium urat di jaringan. Deposit ini bersal dari cairan Kristal ekstra selular yang sudah mengalami supersaturasi dari hasil metabolisme purin yaitu asam urat (Sudoyo, 2006)

Prevalensi di Indonesia, penyakit arthritis gout pertama kali diteliti oleh seorang dokter Belanda, dr. Van Den Horst tahun 1935. Saat itu masih ditemukan 15 kasus gout berat di Jawa. Pada tahun 1988, dr. John Darmawan menunjukkan bahwa di Bandungan Jawa Tengah diantara 4.683 orang berusia 15 – 45 tahun yang diteliti, 0,8 % menderita asam urat tinggi (1,7 % pria dan 0,05 % wanita) di antara mereka sudah sampai pada tahap gout. Angka-angka ini diprediksikan akan bertambah dengan tingginya faktor resiko pada gout (Sudoyo, 2006).

Gout adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara total, yang berarti sekali terjerat penyakit ini, seseorang harus memperhatikannya seumur hidup (Murray, 1997). Kadang-kadang kombinasi obat yang disarankan harus dikonsumsi dalam jangka panjang, dalam hitungan bulan atau tahun. Bahkan ada kalanya penderita disarankan mengkonsumsi obat penurun asam urat tersebut seumur hidup apabila tingkat serangan sampai pada tahap yang berat. Hal ini misalnya terjadi pada penderita batu ginjal asam urat ataupun telah terjadi pengendapan asam urat pada persendiaan (Murray, 1997)

Jenis-jenis gout

Gout primer

Pada gout primer, hiperurikemia dapat disebabkan adanya kelainan genetik maupun kelainan bawaan lain yang menyebabkan peningkatan produksi asam urat atau penurunan kemampuan ekskresi asam urat.

Gout sekunder

Gout sekunder merupakan akibat dari proses penyakit lain atau akibat pengobatan tertentu. Misalnya obat diuretik tiazid dapat menyebabkan hiperurikemia dengan penurunan ekskresi asam urat. Selain itu aspirin dengan dosis rendah (kurang dari 1 – 2 gram/hari), asam nikotinat, dan asetazolamid juga berefek sama (Carter, 2001).

Penyakit-penyakit seperti leukemia, lymphoma, psoriasis juga dapat menyebabkan gout. Paparan terhadap timbal yang berlebihan dapat merusak ginjal sehingga berakibat menurunkan kemampuannya mengekskresikan asam urat (Broadhurst).

Penyebab lain gout sekunder adalah konsumsi alkohol. Alkohol dapat meningkatkan nilai asam urat dengan menyediakan sumber purin yang tinggi serta menghasilkan produk samping metabolisme alkohol yang dapat menghambat ekskresi asam urat.

Diet tinggi purin dapat memicu terjadinya serangan gout pada orang yang memiliki kelainan bawaan dalam metabolisme purin (Carter, 2001). Konsumsi makanan dengan kadar purin yang tinggi seperti hati, ginjal, otak, jantung, paru-paru dan lain-lain memperbesar resiko pemunculan gout (Murray, 1997).

Selain hal tersebut di atas, seseorang dengan kondisi tertentu mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk mendapatkan penyakit gout dibanding orang normal. Misalnya obesitas, terdapat hubungan yang jelas antara berat badan dengan nilai asam urat darah. Pada kasus lain, hipertensi ditemukan dalam 25 – 50 % pasien gout, tanpa penyebab yang jelas

Fase klinik gout

Terdapat empat tahap penyakit gout, yaitu :

- Hiperurikemia asimtomatik

Dalam tahap ini penderita tidak menunjukkan gejala-gejala selain peningkatan asam urat serum. Keadaan ini dapat berlangsung cukup lama, dapat terjadi selama bertahun-tahun.

- Artritis gout akut

Tahap gout akut adalah tahap gejala gout mulai tampak. Pembengkakan mendadak dan nyeri yang luar biasa umumnya terdapat pada sendi ibu jari kaki. Terdapat tanda-tanda peradangan lokal, dengan peningkatan jumlah sel darah putih. Serangan biasanya pulih tanpa pengobatan, tetapi memakan waktu 10 – 14 hari.

Tidak terdapat perubahan yang karakteristik pada nilai plasma asam urat saat inisiasi ataupun selama berlangsungnya serangan gout akut. Bahkan ekskresi asam urat cenderung meningkat selama serangan yang menyebabkan kadar asam urat plasma menurun

- Interkritis

Tidak terdapat gejala-gejala pada tahap ini yang dapat berlangsung beberapa bulan atau beberapa tahun. Mula-mula periode interkritis berlangsung lama, asimtomatik dan tanpa kelainan pada pemeriksaan fisik. Lama-kelamaan, serangan akut makin sering timbul, periode interkritis menjadi lebih pendek.

- Gout kronik

Apabila tidak dilakukan pengobatan, timbunan urat terus bertambah. Peradagan kronik akibat kristal asam urat menyebabkan rasa nyeri serta pembesaran dan penyebaran sendi yang membengkak yang disebut tofi (Carter, 2001).

Tofi ini terdiri dari deposit kristal natrium urat bersama dengan matriks protein, lemak, polisakarida, serta kalsium. Telinga, persendian jari-jari merupakan tempat yang sering dihinggapi tofi. Selain itu disfungsi renal juga muncul pada penderita gout. Terbentuknya batu urat ginjal semakin memperburuk penyakit gout akibat penurunan ekskresi asam urat.

C. Gambaran radiologis

Gambaran radiologis OA dan RA

Gambaran radiologis sendi yang menyokong diagnosis OA ialah: a) Penyempitan celah sendi yang sering kali asimetris (lebih berat pada bagian yang menanggung beban); b) Peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral; c) Kista tulang; d) Osteofit pada pinggir sendi; e) Perubahan struktur anatomi sendi.

(Pemeriksaan rontgen lutut AP menunjukkan adanya penyempitan compartment femorotibial medial dan penajaman spina tibia khas didapat pada OA)

(Gambar rontgen tangan menunjukkan penyempitan, osteophytes dan kita subchondral yang ditemukan di sendi interphalang distal khas pada OA)

(Gambar pembesaran jari ke V menunjukkan adanya osteophytes dan erosi sentral (gull wing appearance))

(Gambar pembesaran rontgen sendi interphalangeal distal jari ke V, terdapat erosi lanjut OA)

Transverse fast spin-echo T2-weighted fat-saturated MR image of the knee reveals increased signal intensity within the articular cartilage of the patella reflecting degeneration.

Sindrom Sjogren’s didefinisikan sebagai kombinasi RA dengan keratokonjungtivitis sicca atau xerostomia atau kedua-duanya. Rontgenografi pada sindrom Sjogren’s umumnya telah dibatasi karakteristiknya dengan penemuan sialografi dari ectasia dan dikenal baik sebagai ciri dari RA dan kalsifikasi vaskuler pada pergelangan tangan dan kaki pada beberapa pasien dengan RA. Gambaran radiologis RA lainnya ialah; Sendi yang tipis dan erosi, banyak sendi yang terlibat dan inflamasi pada synovium serta rusaknya semua jaringan sendi.

(Gambar rheumatoid arthritis)

(Gambar rontgen lutut memperlihatkan osteopenia dengan peluasan epiphysis distal femur. Epifisis tumbuh berlebihan karena hyperemia kronis)

(Gambar osteopenia luas, carpal crowding (hilangnya kartilago) dan beberapa erosi yang ditemukan pada tulang karpal dan metacarpal pada pasien anak advanced juvenile idiopathic arthritis (JIA))

(Gambar panah menunjukkan erosi di area periarticular jari kaki pada pasien RA)

(Gambar erosi multiple dan penyempitan ruang sendi di pancarpal pada pasien RA)

(Gambar panah menunjukkan erosi pada tepi articular tibia pada pasien juvenile chronic arthritis)

Knee in early juvenile rheumatoid arthritis: MR imaging findings. Radiology 2001 Sep;220(3):696-706.

"Synovial hypertrophy and joint effusions are the most frequent MR imaging findings of knees in early juvenile rheumatoid arthritis."

Gambaran radiologis Gout arthitis

Penemuan pada fase awal gout dimulai pada jaringan lunak. Penemuan yang khas adalah pembengkakan yang tidak simetris disekitar sendi yang terkena. Penemuan lain yang dapat terjadi pada fase awal gout adalah edema pada jaringan lunak disekitar sendi. Pada penderita yang mengalami episode gout yang multiple pada sendi yang sama, terdapat gambaran area berkabut yang opak yang dapat dilihat pada pemeriksaan radiologi film datar.

Fase lanjut dari gout, terjadi perubahan awal pada tulang. Pada umumnya, perubahan awal pada area sendi metatarsophalangeal. Purubahan awal pada umumnya terjadi di luar sendi atau pada daerah juxta artikularis. Pada fase lanjut ini biasanya ditemukan gambaran lesi luar, yang kemudian bisa menjadi sklerotik karena peningkatan ukurannya.

Pada fase akhir gout, ditemukan tanda topus pada banyak persendian tulang. Terjadinya perubahan lain pada gambaran radiografi film datar pada stadium akhir adalah jarak persendian yang menyempit yang sangat menyakitkan. Tanda deformitas juga dapat terjadi karena efek dari penyakit pada fase akhir. Kalsifikasi pada jaringan lunak ditemukan juga pada fase akhir gout.

goutAP gout

Click to see larger picture

Gambar Gout Podagra, atau nyeri pada metatarsophalangeal paertama, dapat dengan mudah difahami ketika gambaran radiologis dari kaki dengan gout kronik telah dievaluasi. Sklerosis dan ruang antar sendi menyempit tampak pada metatarsophalangeal paertama, seperti pada sendi interphalangeal keempat. (Image courtesy of Larry Brent, MD).

GoutToe:

Gambar Erosi dari gout (panah) ditemukan di sepanjang tepi medial dari metatarsal yang pertama pada pasien yang menderita gout- relative pula ditemukan pada kartilago artikular

1

3

Gambar Erosi yang luas terlihat pada medial metatarsal pertama bagian distal (panah tengah) dengan diiringi massa jaringan lunak (panah atas). Gambaran lusen subchondral dengan sklerotik melibatkan bagian distal metatarsal pertama (panah dalam). Gambaran sendi dan densitas tulang normal.

GoutMPJ1

Gambaran dorsoplantar dari sendi metatarsophalang pertama. Terjadi peningkatan densitas jaringan lunak dan volum dan terlihat berdekatan pada puncak dari metatarsal pertama. Meskipun tampak gambaran erosi yang signifikan pada metatarsal pertama pada bagian medial dan lateral, ruang sendi relative renggang. Gambaran erosi bentuk- C disepanjang pada bagian lateral dasar hallux proksimal phalang dengan penjalaran tepi tulang (panah, AKA Martel’s sign).

x-ray Click to see larger picture

Gambar Gout pada gambaran ini merupakan kronik topus arthritis gout, erosi tulang yang meluas ditemukan pada area tulang karpal. Deposisi urat mungkin ditemukan pada area periartikular (Image courtesy of Larry Brent, MD)

BAB III

KESIMPULAN

· Arthritis adalah salah satu penyakit reumatologi nyeri somatic dan kekauan sendi yang dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, genetik, factor lingkungan, dan gaya hidup.

· Terdapat tiga macam Arthitis, yaitu Osteoarthitis, Arthritis Rheumatoid dan Gout Arthritis.

· Gambaran radiologis sendi yang menyokong diagnosis OA ialah:

- Penyempitan celah sendi yang sering kali asimetris (lebih berat pada bagian yang menanggung beban)

- Peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral

- Kista tulang

- Osteofit pada pinggir sendi

- Perubahan struktur anatomi sendi.

· Sindrom Sjogren’s didefinisikan sebagai kombinasi RA dengan keratokonjungtivitis sicca atau xerostomia atau kedua-duanya. Rontgenografi pada sindrom Sjogren’s umumnya telah dibatasi karakteristiknya dengan penemuan sialografi dari ectasia dan dikenal baik sebagai ciri dari RA dan kalsifikasi vaskuler pada pergelangan tangan dan kaki pada beberapa pasien dengan RA. Gambaran radiologis RA lainnya ialah; Sendi yang tipis dan erosi, banyak sendi yang terlibat dan inflamasi pada synovium serta rusaknya semua jaringan sendi.

· Penemuan pada fase awal gout dimulai pada jaringan lunak. Penemuan yang khas adalah pembengkakan yang tidak simetris disekitar sendi yang terkena. Penemuan lain yang dapat terjadi pada fase awal gout adalah edema pada jaringan lunak disekitar sendi. Pada penderita yang mengalami episode gout yang multiple pada sendi yang sama, terdapat gambaran area berkabut yang opak yang dapat dilihat pada pemeriksaan radiologi film datar.

· Fase lanjut dari gout, terjadi perubahan awal pada tulang. Pada umumnya, perubahan awal pada area sendi metatarsophalangeal. Purubahan awal pada umumnya terjadi di luar sendi atau pada daerah juxta artikularis. Pada fase lanjut ini biasanya ditemukan gambaran lesi luar, yang kemudian bisa menjadi sklerotik karena peningkatan ukurannya.

· Pada fase akhir gout, ditemukan tanda topus pada banyak persendian tulang. Terjadinya perubahan lain pada gambaran radiografi film datar pada stadium akhir adalah jarak persendian yang menyempit yang sangat menyakitkan. Tanda deformitas juga dapat terjadi karena efek dari penyakit pada fase akhir. Kalsifikasi pada jaringan lunak ditemukan juga pada fase akhir gout.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aru W, Sudoyo, et al, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Penerbit Buku Kedokteran IPD FK UI.

2. Broadhurst, C. L., Ease Gout Pain, Nutrition Science News

(http://www.denutrition.com)

3. Carter, M. A.,, Gout, dalam Sylvia, A. P. And Lorraine, M. W. (Eds), 2001, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi IV, Buku II, 1242-1246, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

4. Murray, R. K., Granner, D. K., Mayer, P. A., Rodwell, V. M., 1997, Biokimia Harper, alih bahasa oleh Andry Hartono, Edisi 24, 366-391, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

5. www.emedicine.com